ONTOLOGI
1.
Sastra Bandingan dan Bandingan Sastra
Sohaimi (dalam Endraswara,2011:103) memberikan
pandangan yang cukup penting untuk diperhatikan. Ia menyatakan bahwa ‘sastra
bandingan’ lebih berpijak pada penelitian antardisiplin dengan teori dan pendekatan
yang jelas. Sedangkan ‘bandingan sastra’ cenderung bersifat binari, yaitu
membandingkan dua karya sastra.
Ontologi merupakan asas penetapan ruang lingkup dan
sasaran kajian, serta asas penafsiran akan hakekat sasaran kajian tersebut.
(Rosidi,2007)
Sehingga secara ontologis, perlu disadari bahwa sastra
bandingan merupakan aktivitas penelitian kualitatif yang merunut dua atau lebih
karya sastra. Biarpun ada yang mencoba mengkuantifikasikan hasil bandingan,
sebenarnya hal tersebut hanya akan melenyapkan makna. Oleh karena hakikat
sastra bandingan bukan pada jumlah, melainkan kualitas karya seseorang dapat
terpengaruh dari karya yang lain. Jika penelitian kualitatif berlandaskan
pendekatan holistik, mendudukan objek penelitian dalam suatu konstruksi ganda,
serta melihat objeknya dalam satu konteks natural bukan parsial, maka sastra
bandingan diarahkan pada pemahaman kontekstual.
Sastra bandingan juga mengenal aspek aksiologi,
artinya ada manfaat dari sastra bandingan bagi pengembangan sastra. Manfaat sastra
bandingan tak dapat lepas dari pemahaman sebelumnya, yaitu teks dan konteks.
Sastra bandingan pun akan menemukan nilai dibalik teks sastra secara objektif.
Sastra bandingan akan menyajikan karya sastra berdasarkan nilai-nilai serta
kualitas dari suatu karya.
Sastra bandingan, secara sederhana, memiliki fungsi
yang amat mendasar dalam kehidupan sastra, yaitu :
1) Meluruskan kerja kreatif, terutama
untuk mendudukkan persoalan bagi pengarang yang sering ceroboh, dalam arti
mengambil ide sana-sini tanpa permisi.
2) Membantu ahli sastra dalam menyusun
sejarah sastra.
3) Menemukan kembali unsur-unsur
orisinalitas suatu karya sastra.
4) Menggugah kreativitas pengarang agar
semakin berkualitas dalam menghasilkan karya.
Manfaat diatas menandai betapa penting sastra bandingan
dilakukan. Sastra bandingan dan bandingan sastra selalu dilandasi bahwa karya
sastra lahir dikarenakan ada pendorongnya; dan karya sastra lahir dari sebuah
invensi dan konvensi yang menuju inovasi kreatif. Dari dua hal ini muncul karya
sastra yang layak dibandingkan satu sama lain. Baik sastra bandingan maupun
bandingan sastra sejatinya bertujuan untuk mengidentifikasi kebaruan atau
sekedar tiruan belaka sebuah karya sastra dari himpunan teks-teks sebelumnya.
(Endraswara, 2011: 104-106)
2.
Problematik dan Target
Ada beberapa hal yang sangat mungkin menjadi problem
dalam sastra bandingan sebagai sebuah disiplin ilmu. Persoalan yang menyangkut
konsep sastra bandingan, tampaknya juga menjadi problem serius. Pusat perhatian
utama dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya terletak
pada penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih, setidak-tidaknya dari
dua negara yang berbeda. Timbul masalah jika kita membandingkan dua karya yang
berasal dari dua budaya etnik berbeda, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra
bandingan?.
Zepetnek, menyatakan bahwa sastra bandingan adalah
“studi sastra yang dilandasi sastra atau bahasa nasional suatu negara”. Selain
itu, sastra bandingan juga merupakan sebuah ideologi bagi sastra yang
termarginalkan agar mendapatkan tempat di masa mendatang. Dari pendapat ini,
dapat dirumuskan bahwa sastra bandingan dapat mengambil karya sastra pada suatu
wilayah negara dan atau sastra daerah. Studi dapat ditekankan pada aspek
ideologi karya sastra, karena mungkin sekali terjadi persentuhan ideologi
antara dua karya atau lebih. (Endraswara,2011:107)
Masalah kedua yang menyangkut studi sastra bandingan
adalah apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks
sastra atau lebih atau malah mencantelkan analisis atau interpretasi pada
kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang melahirkannya? Jika perbandingan itu
hanya menyangkut persoalan dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil
perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual.
Dengan demikian apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan
perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih?, oleh karena itu patutlah
dipertimbangkan kembali tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada
perbandingan dua teks sastra yang berbeda, tetapi juga berusaha menelusuri
persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang
dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Wellek dan Warren menyebutkan bahwa ada tiga
pengertian mengenai sastra bandingan : pertama, penelitian sastra lisan,
terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya; kedua, penyelidikan mengenai
hubungan antara dua atau lebih karya sastra yang menjadi bahan dan objek
penyelidikannya, di antaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh, dan
kemasyhuran karya besar; dan ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra
dunia, sastra umum, dan sastra nasional.
Sedangkan,
Remak mengungkapkan bahwa “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati
batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan
dan kepercayaan lain”, dengan kata lain sastra bandingan adalah perbandingan
karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta
perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih
lanjut Remak menekankan, bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang di
luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan
keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat
dipisahkan dan mempunyai pertalian logis. (Endraswara,2011:108)
Benedecto Crose berpendapat bahwa studi sastra
bandingan adalah penelitian yang berupa eksplorasi perubahan, penggantian,
pengembangan, dan perbedaan timbal balik di antara dua karya atau lebih. Sastra
bandingan terkait erat dengan ihwal tema dan ide sastra. Dalam pandangan Josh,
sastra bandingan juga dapat meliputi aspek-aspek pengaruh, sumber ilham
(acuan), proses pengambilan ilham, dan tema dasar. Berkaitan dengan hal ini ada
empat kelompok penelitian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek
garapan. Pertama, kategori yang melihat hubungan karya yang satu dengan lainnya
melalui cara menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap
karya yang lain. Termasuk dalam interdisipliner dalam sastra bandingan adalah
filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya. Kedua, kategori yang mengkaji tema
karya sastra. Ketiga, penelitian terhadap gerakan atau kecendrungan yang
menandai suatu peradaban, yang keempat, analisis bentuk karya sastra (genre).
(Endraswara,2011:112)
Sehingga, jika dilihat dari problematik yang muncul
dalam sastra bandingan serta definisi sastra bandingan menurut para ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa target dari sastra bandingan adalah penelitian yang
tidak hanya berusaha mengkaji persamaan dan perbedaan antar karya sastra secara
tekstual, namun lebih jauh lagi yakni berusaha mengetahui latar belakang
kehidupa sosial budaya yang mendasari lahirnya sebuah teks.
3.
Perspektif Totalitas Pemahaman Sastra
Memahami sastra yang imajinatif bisa melahirkan
pemahaman relatif. Sastra umumnya dihadirkan secara ambigu yang memang sudah
menjadi sifatnya. Sastra multitafsir, sehingga pemahaman yang utuh atau total
menjadi begitu penting. Penelitian terhadap karya sastra dapat dilakuakn dari
berbagai sudut pendekatan, masing-masing dengan model analisisnya, tidak lain
merupakan sebuah totalitas terhadap pemahaman sastra. (Endraswara,2011:112)
Sebuah karya sastra yang hadir dihadapan pembaca
merupakan sebuah totalitas yang padu dan koheren. Sastra dibangun dari sejumlah
unsur intrinsik yang masing-masing saling berkaitan timbal-balik membentuk
sebuah sistem yang terorganisir. Sebagai sebuah kesatuan sistem organisasi,
karya sastra akan ‘hidup’ jika didukung oleh semua subsistemnya. Namun, unsur-unsur
tersebut sesungguhnya tidak akan lepas dari karya sastra sebelumnya. Sastrawan
bukan orang yang bebas segala nilai di kepalanya. Mereka kadang-kadang
terinfeksi oleh unsur pembangun, bentuk-bentuk, dan model sebelumnya.
Tiap subsistem sastra hanya akan bermakna jika berada
dalam kaitan dengan wujud keseluruhannya. Dengan kata lain, unsur-unsur karya
sastra tidak berarti apa-apa dalam keadaan terisolasi atau terpisah dari
totalitasnya. (Endraswara,2011:114)
Penelitian terhadap karya sastra lewat berbagai
pendekatan tetap bermuara pada satu tujuan utama, yakni memahami secara lebih
baik, lebih penuh, dan total terhadap karya yang bersangkutann. Kegiatan
pemahaman yang demikianlah yang diharapkan mampu mengungkap makna terselubung
pada sebuah karya dan mampu mengambil manfaat darinya.
Seorang seniman yang gemar membaca karya sastra
estetis dan absurd, mungkin sekali akan menciptakan karya sastra semacam karya
yang ia pernah baca. Karya sastra yang lahir berikutnya tidak berarti ‘kotor’,
melainkan sebuah cetusan barisan ide yang mirip. Dari sini tugas ahli sastra
bandingan akan menemukan totalitas pemahaman secara komprehensif. Sastra
bandingan menjadi jembatan untuk meneropong jauh mana karya yang benar-benar
kreatif dan mana karya yang sekedar jiplakan karya sebelumnya. Selain itu,
mempelajari karya sastra dapat juga diartikan sebagai mempelajari budaya
masyarakat yang bersangkutan dan atau barisan cipta sastra kreatif sebelumnya.
(Endraswara,2011:115-116)
4. Universalisasi
Sastra, Mungkinkah?
Universalisasi
Sastra terkadang bertolak belakang dengan ide sastra bandingan. Disatu pihak
Universalisasi sastra menolak varian – varian sastra dari berbagai Negara, di
lain pihak sastra bandingan justru sebaliknya. Universalisasi sastra sering
memanfaatkan logika generalisasi. Penelitian “ membanding “ yang berlandaskan
hanya pada hal – hal yang menonjol dari sebuah karya, seperti yang sering
dilakukan atas dua buah karya ( berlailan Negara ) atau lebih yang mencari
persamaan dan perbedaan, sepatutnya mencari keselaran pada karya – karya yang
di kaji. Untuk mengetahui pengarang dan hal-hal yang menonjol memang mudah, tapi menyusuri sejarah sastra
nasional secara keseluruhan mungkin sudah tercapai
Pandangan
kaum strukturalis terkadang terlalu eksklusif. Mereka berpandangan bahwa
struktur sastra di seluruh dunia mirip. Dengan kata lain, sastra di seluruh
dunia pun memiliki kemiripan. Hal ini secara tidak langsung akan menghapus
sekat-sekat sastra apalagi kalau gagasan antropolog diterer Levi Strauss yang
berkenalan dengan bahasawan De Saussure. Katanya, yang terungkap oleh manusia
itu sebenarnya berasal dari struktur dalam yang sama. Jadi, sastra yang ada
didunia ini kemungkinan berasal dari pijaran makna yang sama, oleh karena itu
Universalisasi sastra memang bukan suatu kebohongan. Dalam pandangan
strukturalis seluruh yang terungkap dijagad raya lewat sastra sebenarnya
berasal dari satu sumber yang mirip pada setiap bangsa. Maka bukan suatu hal
yang ganjil apabila tema penganiayaan dalam sastra ada di seluruh dunia. Begitu
pula gerakan gender akan mewarnai seluruh penjuru dan kutub sastra didunia.
Dalam
kaitannya dengan ikhwal Universalitas sastra, pendapat Kasim ( 1996 : 7 - 10 )
patut dipertimbangkan dia mengutip runutan historis dan dasar-dasar sastra
berdasarkan kesejarahannya. Menurut dia, disamping Goethe, nama lain yang patut
dicatat adalah Fransisco De Sanctis yang memiliki pandangan luas tentang sastra
sebagai mana Goethe, Sanctis juga tidak menghendaki pengkotak-kotakan
kesastraan dalam sastra nasional.
“ Kesusastraan merupakan
totalitas, suatu kesatuan. Sekitarnya karena alasan-alasan yang praktis bidang
itu terpaksa dipisahkan dalam beberapa daerah, pembagian itu haruslah dibuat,
berdasarkan criteria yang tidak dibuat-buat, seperti batasan-batasan bahasa dan
politik. Karya-karya sastra haruslah dipelajari bersama-sama apapun asal-usul
kebangsaannya, asal saja mereka memiliki kecenderungan dan kurun waktu yang
sama, atau asal sastra mereka menggambarkan tema dan motif yang sama “ ( Jost,
1974 : 12 )
Pendapat
demikian memang sedikit bersebrangan dengan paham keunikan sastra di suatu
bangsa. Sastra suatu wilayah, bagaimana pun, tetap berbeda dengan wilayah yang
lain meski memiliki kemiripan tema. Jadi, Universalitas sastra ini condong
berada pada paham pemikiran. Pada ranah pemikiran, sastra itu berasal dari
embrio yang sama sesuai dengan tuntutan psikologi manusia. Itulah sebabnya
pendapat yang memandang bahwa kesusastraan merupakan suatu totalitas, suatu
kesatuan, dan bersifat universal, ada benarnya karena pada hakikatnya kehidupan
manusia memiliki beberapa aspek yang bersamaan. Kenyataan ini, terutama dilihat
dari kaca mata dunia barat, dapat di buktikan dari banyaknya unsur latar budaya
yang tidak jauh berbeda satu sama lain diberbagai ngara di Eropa.
Oleh
karena itu pula kesusastraan, yang dipandang sebagai karya budaya umat manusia,
tentu memiliki banyak persamaan. Suatu contoh yang boleh dilihat adalah
mengenai motif berulang tentang “ Dosa Sumbang “ dan aliran ( movement ) dalam dunia sastra yang merupakan
fonemena internasional, meskipun harus diakaui bahwa dalam aliran sering
didapati adanya penyimpangan-penyimpangan dalam satu sastra nasional. Upaya
menyamakan sastra pada tataran pemikiran dilandasi adanya permainan logika
kebutuhan manusia secara esensial berbagai keinginan manusia didunia tentang
seks, misalnya, ridak jauh berbeda satu sama lain. Oleh karena itu kalau ada
karya sastra yang berkisah tentang seks disuatu wilayah, misalnya pengakuan pariem karya Linus Suryadi AG
mungkin juga akan muncul cerita yang senada di Eropa. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, kemungkinan besar juga
mengandung kesamaan ide di Amerika
Kemiripan
sastra secara Universal bukan hal kebetulan, melainkan dilandasi oleh kebutuhan
dasar manusia. Kebetuhan dasar seperti cinta, aman, makan, berkuasa, sandang
dan pangan sering menjadi motor penggerak penulisan karya sastra. Konteks ini
dengan sendirinya telah memoles suasana sastra dimana pun berada. Dari
pandangan ini akan muncul sastra dunia yang berbau universal. Tema dalam Mahabarata yang berasal dari india juga
terdapat di belahan dunia lain. Hal ini menandai bahwa perebutan kekuasaan (
artha sastra ) dimana dan kapan pun akan selalu ada.
Rasanya,
Universalisasi sastra merupakan sebuah idelaisme yang amat sulit tercapai.
Kalau sastra bandingan harus merambah sampai 5 benua sekaligus, mendunia secara
mulus, tentu merupakan pekerjaan yang amat berat meskipun hal itu telah
didambakan oleh Goethe, tetapi realisasinya sering menemui kendala. Banyak
benturan dalam realitas sastra bandingan, sebab ada keterbatasan bahasa, kode
budaya, konfensi dan sebagainya, selain pengarang sering menampilkan keunikan
tertentu atas dasar lokalitas yang mungkin sulit di universalkan.
Gagasan
Universalisasi sastra dianggap terlalu lemah ketika suatu bangsa
mengadepankan identitas masing-masing.
Ketika Malaysia mengklaim lagu terang bulan, misalnya Indonesia merasa tidak
nyaman. Hal ini terjadi karena rasa kebangsaan dan kebanggan setiap orang
terhadapa tanah airnya sulit dilepaskan. Meskipun telah keliling dunia layaknya
seorang Columbus seorang pengarang tentu memiliki identitas local yang menjadi
“ bawaan dasar “ yang sulit dihilangkan. Apabila nuansa local itu harus
dianggap sebagai universalitas, tetntu banyak orang yang kurang setuju.
Sastra
bandingan tidak dalam rangka mendorong kearah Universalisasi sastra. Tiap karya
sastra memiliki kelebihan dalam tingkat lokal tertentu. Biarpun karya sastra
ditulis dalam bahasa inggris, belum tentu mewakili universalitas.
Universalisasi bukan terkendala pada masalah bahasa, melainkan juga unsure
sastra yang lain. Penulis setuju apabila sastra bandingan memiliki idelaisme
tinggi, tetapi tidak sedang mencari Universalisasi.
Sastra
bandingan, menurut Hossilos ( Shoimi, 2001 : 9-10 ), memuat bertmacam hal.
Sastra bandingan adalah “ … the study of
literature in all its aspect and relations in spatial – temporal context and
perspectives “ . penulis menyetujui pendapat ini namun tidak berarti bahwa sastra
bandingan hendak menemukan Universaslitas sastra. Tujun sastra bandingan
mengungkap berbagai hal tentang sastra dalam konteks dan persrpektif berbeda
cenderung untuk menemukan variasi keilmuan. Itiulah sebabnya Universalisasi
sastra dirasa tidak perlu, sekalipun sastra bandingan dapat menemukan berbagai
unsur penting dalam sastra tertentu.
Sumber :
-
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop
-
/MASALAH DALAM
PRAKTIK STUDI SASTRA BANDINGAN » MAHAYANA-MAHADEWA.COM.htm