Jumat, 27 April 2012

Kajian Ontologi Sastra Bandingan


ONTOLOGI
1.    Sastra Bandingan dan Bandingan Sastra
Sohaimi (dalam Endraswara,2011:103) memberikan pandangan yang cukup penting untuk diperhatikan. Ia menyatakan bahwa ‘sastra bandingan’ lebih berpijak pada penelitian antardisiplin dengan teori dan pendekatan yang jelas. Sedangkan ‘bandingan sastra’ cenderung bersifat binari, yaitu membandingkan dua karya sastra.
Ontologi merupakan asas penetapan ruang lingkup dan sasaran kajian, serta asas penafsiran akan hakekat sasaran kajian tersebut. (Rosidi,2007)
Sehingga secara ontologis, perlu disadari bahwa sastra bandingan merupakan aktivitas penelitian kualitatif yang merunut dua atau lebih karya sastra. Biarpun ada yang mencoba mengkuantifikasikan hasil bandingan, sebenarnya hal tersebut hanya akan melenyapkan makna. Oleh karena hakikat sastra bandingan bukan pada jumlah, melainkan kualitas karya seseorang dapat terpengaruh dari karya yang lain. Jika penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan holistik, mendudukan objek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, serta melihat objeknya dalam satu konteks natural bukan parsial, maka sastra bandingan diarahkan pada pemahaman kontekstual.
Sastra bandingan juga mengenal aspek aksiologi, artinya ada manfaat dari sastra bandingan bagi pengembangan sastra. Manfaat sastra bandingan tak dapat lepas dari pemahaman sebelumnya, yaitu teks dan konteks. Sastra bandingan pun akan menemukan nilai dibalik teks sastra secara objektif. Sastra bandingan akan menyajikan karya sastra berdasarkan nilai-nilai serta kualitas dari suatu karya.
Sastra bandingan, secara sederhana, memiliki fungsi yang amat mendasar dalam kehidupan sastra, yaitu :
  1)      Meluruskan kerja kreatif, terutama untuk mendudukkan persoalan bagi pengarang yang sering ceroboh, dalam arti mengambil ide sana-sini tanpa permisi.
   2)      Membantu ahli sastra dalam menyusun sejarah sastra.
   3)      Menemukan kembali unsur-unsur orisinalitas suatu karya sastra.
   4)      Menggugah kreativitas pengarang agar semakin berkualitas dalam menghasilkan karya.
Manfaat diatas menandai betapa penting sastra bandingan dilakukan. Sastra bandingan dan bandingan sastra selalu dilandasi bahwa karya sastra lahir dikarenakan ada pendorongnya; dan karya sastra lahir dari sebuah invensi dan konvensi yang menuju inovasi kreatif. Dari dua hal ini muncul karya sastra yang layak dibandingkan satu sama lain. Baik sastra bandingan maupun bandingan sastra sejatinya bertujuan untuk mengidentifikasi kebaruan atau sekedar tiruan belaka sebuah karya sastra dari himpunan teks-teks sebelumnya. (Endraswara, 2011: 104-106)

2.    Problematik dan Target
Ada beberapa hal yang sangat mungkin menjadi problem dalam sastra bandingan sebagai sebuah disiplin ilmu. Persoalan yang menyangkut konsep sastra bandingan, tampaknya juga menjadi problem serius. Pusat perhatian utama dalam banyak rumusan atau definisi sastra bandingan pada umumnya terletak pada penekanan perbandingan pada dua karya atau lebih, setidak-tidaknya dari dua negara yang berbeda. Timbul masalah jika kita membandingkan dua karya yang berasal dari dua budaya etnik berbeda, apakah termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan?.
Zepetnek, menyatakan bahwa sastra bandingan adalah “studi sastra yang dilandasi sastra atau bahasa nasional suatu negara”. Selain itu, sastra bandingan juga merupakan sebuah ideologi bagi sastra yang termarginalkan agar mendapatkan tempat di masa mendatang. Dari pendapat ini, dapat dirumuskan bahwa sastra bandingan dapat mengambil karya sastra pada suatu wilayah negara dan atau sastra daerah. Studi dapat ditekankan pada aspek ideologi karya sastra, karena mungkin sekali terjadi persentuhan ideologi antara dua karya atau lebih. (Endraswara,2011:107)
Masalah kedua yang menyangkut studi sastra bandingan adalah apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih atau malah mencantelkan analisis atau interpretasi pada kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang melahirkannya? Jika perbandingan itu hanya menyangkut persoalan dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dengan demikian apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih?, oleh karena itu patutlah dipertimbangkan kembali tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda, tetapi juga berusaha menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Wellek dan Warren menyebutkan bahwa ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan : pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya; kedua, penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra yang menjadi bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya soal reputasi dan penetrasi, pengaruh, dan kemasyhuran karya besar; dan ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia, sastra umum, dan sastra nasional.
Sedangkan, Remak mengungkapkan bahwa “Sastra bandingan adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain”, dengan kata lain sastra bandingan adalah perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut Remak menekankan, bahwa perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis. (Endraswara,2011:108)
Benedecto Crose berpendapat bahwa studi sastra bandingan adalah penelitian yang berupa eksplorasi perubahan, penggantian, pengembangan, dan perbedaan timbal balik di antara dua karya atau lebih. Sastra bandingan terkait erat dengan ihwal tema dan ide sastra. Dalam pandangan Josh, sastra bandingan juga dapat meliputi aspek-aspek pengaruh, sumber ilham (acuan), proses pengambilan ilham, dan tema dasar. Berkaitan dengan hal ini ada empat kelompok penelitian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan. Pertama, kategori yang melihat hubungan karya yang satu dengan lainnya melalui cara menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap karya yang lain. Termasuk dalam interdisipliner dalam sastra bandingan adalah filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya. Kedua, kategori yang mengkaji tema karya sastra. Ketiga, penelitian terhadap gerakan atau kecendrungan yang menandai suatu peradaban, yang keempat, analisis bentuk karya sastra (genre). (Endraswara,2011:112)
Sehingga, jika dilihat dari problematik yang muncul dalam sastra bandingan serta definisi sastra bandingan menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa target dari sastra bandingan adalah penelitian yang tidak hanya berusaha mengkaji persamaan dan perbedaan antar karya sastra secara tekstual, namun lebih jauh lagi yakni berusaha mengetahui latar belakang kehidupa sosial budaya yang mendasari lahirnya sebuah teks.

3.    Perspektif Totalitas Pemahaman Sastra
Memahami sastra yang imajinatif bisa melahirkan pemahaman relatif. Sastra umumnya dihadirkan secara ambigu yang memang sudah menjadi sifatnya. Sastra multitafsir, sehingga pemahaman yang utuh atau total menjadi begitu penting. Penelitian terhadap karya sastra dapat dilakuakn dari berbagai sudut pendekatan, masing-masing dengan model analisisnya, tidak lain merupakan sebuah totalitas terhadap pemahaman sastra. (Endraswara,2011:112)
Sebuah karya sastra yang hadir dihadapan pembaca merupakan sebuah totalitas yang padu dan koheren. Sastra dibangun dari sejumlah unsur intrinsik yang masing-masing saling berkaitan timbal-balik membentuk sebuah sistem yang terorganisir. Sebagai sebuah kesatuan sistem organisasi, karya sastra akan ‘hidup’ jika didukung oleh semua subsistemnya. Namun, unsur-unsur tersebut sesungguhnya tidak akan lepas dari karya sastra sebelumnya. Sastrawan bukan orang yang bebas segala nilai di kepalanya. Mereka kadang-kadang terinfeksi oleh unsur pembangun, bentuk-bentuk, dan model sebelumnya.
Tiap subsistem sastra hanya akan bermakna jika berada dalam kaitan dengan wujud keseluruhannya. Dengan kata lain, unsur-unsur karya sastra tidak berarti apa-apa dalam keadaan terisolasi atau terpisah dari totalitasnya. (Endraswara,2011:114)
Penelitian terhadap karya sastra lewat berbagai pendekatan tetap bermuara pada satu tujuan utama, yakni memahami secara lebih baik, lebih penuh, dan total terhadap karya yang bersangkutann. Kegiatan pemahaman yang demikianlah yang diharapkan mampu mengungkap makna terselubung pada sebuah karya dan mampu mengambil manfaat darinya.
Seorang seniman yang gemar membaca karya sastra estetis dan absurd, mungkin sekali akan menciptakan karya sastra semacam karya yang ia pernah baca. Karya sastra yang lahir berikutnya tidak berarti ‘kotor’, melainkan sebuah cetusan barisan ide yang mirip. Dari sini tugas ahli sastra bandingan akan menemukan totalitas pemahaman secara komprehensif. Sastra bandingan menjadi jembatan untuk meneropong jauh mana karya yang benar-benar kreatif dan mana karya yang sekedar jiplakan karya sebelumnya. Selain itu, mempelajari karya sastra dapat juga diartikan sebagai mempelajari budaya masyarakat yang bersangkutan dan atau barisan cipta sastra kreatif sebelumnya. (Endraswara,2011:115-116)

4. Universalisasi Sastra, Mungkinkah?
            Universalisasi Sastra terkadang bertolak belakang dengan ide sastra bandingan. Disatu pihak Universalisasi sastra menolak varian – varian sastra dari berbagai Negara, di lain pihak sastra bandingan justru sebaliknya. Universalisasi sastra sering memanfaatkan logika generalisasi. Penelitian “ membanding “ yang berlandaskan hanya pada hal – hal yang menonjol dari sebuah karya, seperti yang sering dilakukan atas dua buah karya ( berlailan Negara ) atau lebih yang mencari persamaan dan perbedaan, sepatutnya mencari keselaran pada karya – karya yang di kaji. Untuk mengetahui pengarang dan hal-hal yang menonjol  memang mudah, tapi menyusuri sejarah sastra nasional secara keseluruhan mungkin sudah tercapai
            Pandangan kaum strukturalis terkadang terlalu eksklusif. Mereka berpandangan bahwa struktur sastra di seluruh dunia mirip. Dengan kata lain, sastra di seluruh dunia pun memiliki kemiripan. Hal ini secara tidak langsung akan menghapus sekat-sekat sastra apalagi kalau gagasan antropolog diterer Levi Strauss yang berkenalan dengan bahasawan De Saussure. Katanya, yang terungkap oleh manusia itu sebenarnya berasal dari struktur dalam yang sama. Jadi, sastra yang ada didunia ini kemungkinan berasal dari pijaran makna yang sama, oleh karena itu Universalisasi sastra memang bukan suatu kebohongan. Dalam pandangan strukturalis seluruh yang terungkap dijagad raya lewat sastra sebenarnya berasal dari satu sumber yang mirip pada setiap bangsa. Maka bukan suatu hal yang ganjil apabila tema penganiayaan dalam sastra ada di seluruh dunia. Begitu pula gerakan gender akan mewarnai seluruh penjuru dan kutub sastra didunia.
            Dalam kaitannya dengan ikhwal Universalitas sastra, pendapat Kasim ( 1996 : 7 - 10 ) patut dipertimbangkan dia mengutip runutan historis dan dasar-dasar sastra berdasarkan kesejarahannya. Menurut dia, disamping Goethe, nama lain yang patut dicatat adalah Fransisco De Sanctis yang memiliki pandangan luas tentang sastra sebagai mana Goethe, Sanctis juga tidak menghendaki pengkotak-kotakan kesastraan dalam sastra nasional.
“ Kesusastraan merupakan totalitas, suatu kesatuan. Sekitarnya karena alasan-alasan yang praktis bidang itu terpaksa dipisahkan dalam beberapa daerah, pembagian itu haruslah dibuat, berdasarkan criteria yang tidak dibuat-buat, seperti batasan-batasan bahasa dan politik. Karya-karya sastra haruslah dipelajari bersama-sama apapun asal-usul kebangsaannya, asal saja mereka memiliki kecenderungan dan kurun waktu yang sama, atau asal sastra mereka menggambarkan tema dan motif yang sama “ ( Jost, 1974 : 12 )
            Pendapat demikian memang sedikit bersebrangan dengan paham keunikan sastra di suatu bangsa. Sastra suatu wilayah, bagaimana pun, tetap berbeda dengan wilayah yang lain meski memiliki kemiripan tema. Jadi, Universalitas sastra ini condong berada pada paham pemikiran. Pada ranah pemikiran, sastra itu berasal dari embrio yang sama sesuai dengan tuntutan psikologi manusia. Itulah sebabnya pendapat yang memandang bahwa kesusastraan merupakan suatu totalitas, suatu kesatuan, dan bersifat universal, ada benarnya karena pada hakikatnya kehidupan manusia memiliki beberapa aspek yang bersamaan. Kenyataan ini, terutama dilihat dari kaca mata dunia barat, dapat di buktikan dari banyaknya unsur latar budaya yang tidak jauh berbeda satu sama lain diberbagai ngara di Eropa.
            Oleh karena itu pula kesusastraan, yang dipandang sebagai karya budaya umat manusia, tentu memiliki banyak persamaan. Suatu contoh yang boleh dilihat adalah mengenai motif berulang tentang “ Dosa Sumbang “ dan aliran ( movement ) dalam dunia sastra yang merupakan fonemena internasional, meskipun harus diakaui bahwa dalam aliran sering didapati adanya penyimpangan-penyimpangan dalam satu sastra nasional. Upaya menyamakan sastra pada tataran pemikiran dilandasi adanya permainan logika kebutuhan manusia secara esensial berbagai keinginan manusia didunia tentang seks, misalnya, ridak jauh berbeda satu sama lain. Oleh karena itu kalau ada karya sastra yang berkisah tentang seks disuatu wilayah, misalnya pengakuan pariem karya Linus Suryadi AG mungkin juga akan muncul cerita yang senada di Eropa. Novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari, kemungkinan besar juga mengandung kesamaan ide di Amerika
            Kemiripan sastra secara Universal bukan hal kebetulan, melainkan dilandasi oleh kebutuhan dasar manusia. Kebetuhan dasar seperti cinta, aman, makan, berkuasa, sandang dan pangan sering menjadi motor penggerak penulisan karya sastra. Konteks ini dengan sendirinya telah memoles suasana sastra dimana pun berada. Dari pandangan ini akan muncul sastra dunia yang berbau universal. Tema dalam Mahabarata yang berasal dari india juga terdapat di belahan dunia lain. Hal ini menandai bahwa perebutan kekuasaan ( artha sastra ) dimana dan kapan pun akan selalu ada.
            Rasanya, Universalisasi sastra merupakan sebuah idelaisme yang amat sulit tercapai. Kalau sastra bandingan harus merambah sampai 5 benua sekaligus, mendunia secara mulus, tentu merupakan pekerjaan yang amat berat meskipun hal itu telah didambakan oleh Goethe, tetapi realisasinya sering menemui kendala. Banyak benturan dalam realitas sastra bandingan, sebab ada keterbatasan bahasa, kode budaya, konfensi dan sebagainya, selain pengarang sering menampilkan keunikan tertentu atas dasar lokalitas yang mungkin sulit di universalkan.
            Gagasan Universalisasi sastra dianggap terlalu lemah ketika suatu bangsa mengadepankan  identitas masing-masing. Ketika Malaysia mengklaim lagu terang bulan, misalnya Indonesia merasa tidak nyaman. Hal ini terjadi karena rasa kebangsaan dan kebanggan setiap orang terhadapa tanah airnya sulit dilepaskan. Meskipun telah keliling dunia layaknya seorang Columbus seorang pengarang tentu memiliki identitas local yang menjadi “ bawaan dasar “ yang sulit dihilangkan. Apabila nuansa local itu harus dianggap sebagai universalitas, tetntu banyak orang yang kurang setuju.
            Sastra bandingan tidak dalam rangka mendorong kearah Universalisasi sastra. Tiap karya sastra memiliki kelebihan dalam tingkat lokal tertentu. Biarpun karya sastra ditulis dalam bahasa inggris, belum tentu mewakili universalitas. Universalisasi bukan terkendala pada masalah bahasa, melainkan juga unsure sastra yang lain. Penulis setuju apabila sastra bandingan memiliki idelaisme tinggi, tetapi tidak sedang mencari Universalisasi.
            Sastra bandingan, menurut Hossilos ( Shoimi, 2001 : 9-10 ), memuat bertmacam hal. Sastra bandingan adalah “ … the study of literature in all its aspect and relations in spatial – temporal context and perspectives “ . penulis menyetujui pendapat ini namun tidak berarti bahwa sastra bandingan hendak menemukan Universaslitas sastra. Tujun sastra bandingan mengungkap berbagai hal tentang sastra dalam konteks dan persrpektif berbeda cenderung untuk menemukan variasi keilmuan. Itiulah sebabnya Universalisasi sastra dirasa tidak perlu, sekalipun sastra bandingan dapat menemukan berbagai unsur penting dalam sastra tertentu.
 
Sumber :
-       Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop
-       /MASALAH DALAM PRAKTIK STUDI SASTRA BANDINGAN » MAHAYANA-MAHADEWA.COM.htm

Selasa, 24 April 2012

Sinopsis novel 'Telegram'-Putu Wijaya


Hari ini saya akan memposting Sinopsis Novel 'Telegram' karya Putu Wijaya. Sesungguhnya sudah banyak situs yang memposting sinosis 'Telegram' ini, namun setelah saya baca bukunya, saya memiliki pendapat/versi yang berbeda dari berbagai sinopsis yang di posting di berbagai situs tersebut. Oleh karena itu, semoga Sinopsis lengkap 'Telegram' versi saya ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Sinopsis “Telegram” - Putu Wijaya
Judul Buku : TELEGRAM,  Pengarang : Putu Wijaya, Penerbit : Pustaka Jaya,  Cetakan : ke dua, 1977, Sinopsis :
Ceritanya dimulai ketika Aku punya janji bertemu dengan Rosa, pacar dari Aku, di warung tempat biasanya mereka bertemu. Aku menunggu Rosa di warung sambil menghembus-hembuskan asap rokok dan minum coca-cola. Waktu pun berlalu dengan cepat, akhirnya Rosa datang dengan muka yang berseri-seri, mungkin karena pertemuan mereka hari itu adalah hari pacaran mereka yang ke tiga ribu. Setelah bertemu, Aku dan Rosa meninggalkan warung tempat mereka janji bertemu kemudian mereka pergi berjalan-jalan sebentar sambil menunggu hari gelap. Setelah  hari gelap, Aku dan Rosa pun memasuki sebuah losmen. Saat itu,yang Aku dan Rosa lakukan, apalagi namanya kalau bukan perzinahan, namun semua itu mereka lakukan tanpa perasaan berdosa sebab mereka yakin bahwa mereka hanya melakukan panggilan hati mereka.
Setelah dari losmen, Aku dan Rosa pergi ke sebuah restoran. Sambil diselingi alunan orkes madun dari radio, Rosa bertanya pada Aku tentang kesiapannya untuk menikahinya, dan Aku menjawab ia siap meskipun ia harus melepaskan kebebasan yang dimilikinya. Rosa menangis mendengar jawaban Aku, sebab Rosa tahu hal tersebut mustahil untuk terwujud dan mereka berdua menyadari bahwa mereka tidak ingin menikah karena Rosa tidak ingin hubungan mereka menjadi palsu, ia tidak ingin Aku dan Rosa saling tersenyum,bertegur sapa, berpelukan dan lain-lain hanya karena mereka harus melakukan semuanya karena tugas bukan karena cinta lagi. Rosa kemudian bertanya lagi tentang persoalan tentang pernikahan mereka haruskah ditunda lagi, dan Aku mengetakan tidak, Aku yang akan mengambil keputusan tentang hal tersebut.
 Aku lalu mengajak Rosa ke sebuah taman, di sana Aku memutuskan bahwa Aku dan Rosa tidak usah kawin tetapi mereka tetap tinggal serumah, namun Rosa tidak menginginkan hubungan seperti itu karena dia bukan binatang. Lalu Aku pun mengatakan mereka menikah saja, pernikahan tidak bisa dihindari, karena itu akan tetap terjadi, perkawinan sudah menjadi upacara memasuki malapetaka. Setelah mengatakan itu, Aku pun mengantarkan Rosa pulang, ketika sampai di depan lorong menuju rumah Rosa, tiba-tiba Rosa mengatakan mereka tidak usah kawin saja sebab...
Tiba-tiba Shinta, anak angkat Aku menarik lengan baju Aku, dan Aku pun tersadar dari lamunannya, Aku masih tetap berada di warung. Kemudian Shinta mengajak Aku pulang karena Aku mendapatkan sebuah telegram, maka Aku pun pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Aku melihat telegram itu ternyata datang dari Bali yang mengabarkan ibunya Aku meninggal maka Aku harus segera pulang. Aku pun menulis balasan telegram itu yang menyatakan ia akan segera pulang. Setelah menulis balasan telegram itu, tiba-tiba Shinta datang dan menanyakan isi telegram itu, Aku pun berbohong mengatakan pada Shinta bahwa isi telegram itu dari om yang akan datang jadi mereka besok akan menjemputnya di stasun. Setelah itu, Aku menyuruh Shinta untuk tidur. Ketika shinta tertidur, Aku pergi ke tempat Normah, seorang PSK yang biasa Aku kunjungi, dan memberitahu Normah bahwa Aku akan pulang ke Bali. Setelah mengunjungi Normah, Aku kemudian pulang.
Keesokan harinya, Aku dan Shinta sudah berada di stasiun dan menunggu kedatangan om yang tak mungkin datang. Setelah lama menunggu Shinta memberikan kepada Aku uang kecil dan telegram yang dikira Aku hilang pada saat Aku mengunjungi tempat Normah tadi malam. Melihat telegram yang diberikan Shinta, Aku menyadari bahwa Shinta sudah mengetahui apa isi dari telegram tersebut, isi telegram tersebut adalah ibu Aku sakit keras dan meninta Aku segera pulang. Ternyata Aku juga menghayalkan bahwa isi telegram yang diterimanya tadi malam adalah bahwa ibunya sudah meninggal padahal isi telegram yang sebenarnya adalah ibunya sakit keras. Setelah mengetahui bahwa Shinta mengetahui isi telegramnya, Aku mengajak Shinta pulang karena Aku merasa badannya panas,Aku sakit.
Setelah dari stasiun Aku pergi ke dokter dan setelah dari dokter Aku langsung menuju ke kantornya, akan tetapi ketika sampi di kantornya, pak tua penjaga kantor mengatakan ada yang mencari Aku, Aku tidak ingin menenmui orang yang mencarinya maka ia pun pergi dari kantor ke tempat sahabatnya Zen untuk menumpang tidur.Setelah tidur di rumah Zen, Aku kembali ke kantor. Di kantor pak tua penjaga kantor memberika Aku sebuah bungkusan yang ternyata dari ibunya Aku.
Pada tengah malam di kantor Aku merasa suhu tubuhnya sangat panas, keesokan harinya badan Aku penuh dengan bintik-bintik merah, maka Aku pulang untuk istirahat agar nanti sore ia bisa pergi ke dokter.
Setelah dari dokter dan minum obat akhirnya Aku dapat tidur dan keesokan harinya Aku bangun sore. Karena merasa sudah sehat, Aku kembali ke kantor dan menyelesaikan cover story tentang Bali, dan setelah artikelnya selesai, Aku minta cuti untuk pulang. Setelah mendapat izin, Aku pun mulai membereskan barang-barangnya. Ketika tiba-tiba pak tua datang dan memberitahunya bahwa ada orang yang mencarinya. Ketika Aku menemui tamu yang mencarinya, ternyata dia adalah ibu kandung Shinta yang dahulu tidak menginginkan Shinta karena Shinta adalah anak diluar nikahnya. Ibu kandung Shinta datang menemui Aku karena ingin mengambil Shinta kembali, mendengar itu, Aku pun marah dan tidak terima dengan permintaan ibu kandung Shinta, saking marahnya Aku segera pulang dan tak memperdulikan ibu kandung Shinta.
Sesampainya di rumah, Aku memanggil Shinta dan menjelaskan bahwa ibu kandungnya ingin mengambilnya kembali, jika Shinta ingin kembali ke ibu kandungnya, maka Shinta tidak usah lagi menemui Aku lagi. Setelah mengatakan itu, Aku pergi keluar meninggalkan Shinta di rumah dan pergi menemui Rosa.
Setelah bertemu dengan Rosa, Aku dan Rosa melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan. Hari itu Aku dan Rosa sadar bahwa hubungan mereka harus segera berakhir karena sudah terlalu sering. Pada saat Aku dan Rosa berjalan-jalan, Rosa terlihat luar biasa murung dan tiba-tiba berteriak ia tidak bisa seperti ini lagi, ia bukan binatang. Karena takun menarik erhatian Aku menarik Rosa ke sebuah gang untuk menenangkan Rosa, namun Rosa berontak dan tidak bisa dikendalikan lagi, Rosa dalam keadaan sadar sudah menolak Aku, ajaib, setelah tiga ribu kali pacaran, Rosa hidup dan lepas. Aku bingung karena tokoh khayalannya Rosa sudah mempunyai kesadaran sendiri, ia tidak bisa lagi dikendalikan.
Aku menemukan kembali dirinya di dekat warung langganan, dan pemilik warung menyatakan tadi Shinta mencarinya, karena itu Aku kemudian pulang ke rumah.
Besoknya, Aku sudah bangun pagi dan mempersiapkan barang-barang yang akan di bawa pulang ke Bali, Shinta kemudian bangun dan juga ikut mempersiapkan barang-barangnya. Sebelum keberangkatan Aku dan Shinta ke Bandara, ada telegram yang datang. Aku sudah dapat menebak isinya, telegram itu mengabarkan ibunya Aku telah meninggal. Namun, rencana sebelumnya untuk pulang tetap dilanjutkan.***tamat***

Selasa, 17 April 2012

Charles Darwin dan Darwinisme


Pendahuluan
1.  Sejarah Singkat Charles Darwin (1809 – 1882)
1831-1836: Perjalanan laut dengan kapal Beagle.
1844: Draft buku “Origin of Species by Means of Natural Selection” telah selesai.
1858: Afred Russel Wallace mengirim manuscript kepada J. Hooker anggota Royal Society, berisi tentang perluasan ide dari Malthus. Makalah bersama oleh Darwin dan Wallace di forum Society.
1859: Publikasi buku “ On The Origin of Species by Means of Natural Selection”
1860: Perdebatan antara Huxley dan Wilbeforce tanpa kehadiran Darwin
Darwin menghabiskan sisa masa hidupnya untuk penelitian dan publikasi buku “Descen of Man” (1871) dan “The Expression of Emotion in Man and Animals” (1871).
Buku “Origin of Species by Means of Natural Selection” yang diterbitkan tahun 1959 ini, menurut indeks sitasi merupakan buku yang paling banyak diacu oleh penulis lain (selain kitab suci) selama ini.
Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (Neo Darwinian) terjadi karena adanya:
a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Perubahan dan genotype yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
c. Produksi varian baru melalui pada materi genetic yang diturunkan (DNA/RNA).
d. Kompetisi antar individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
e. Generasi berikut mewarisi “kombinasi gen yang sukses” dari individu fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.

2. Pengembangan teori

Darwin sudah lama berpikir tentang evolusi ide; bahwa semua species berhubungan satu sama lain dan mempunyai "common ancestor" (berasal dari satu garis keturunan) dan melalui mutasi species baru muncul. Namun dia masih penasaran tentang mekanisme bagaimana proses itu terjadi. Secara kebetulan, ia membaca tulisal-tulisan Thomas Malthus. Malthus berpendapat bahwa populasi manusia bertambah lebih cepat daripada produksi makanan, sehingga menyebabkan manusia bersaing satu sama lain untuk memperebutkan makanan dan menjadikan perbuatan amal sia-sia. Dengan gembira Darwin menggunakan mekanisme ini untuk menjelaskan teorinya. Ia menulis: "Manusia cenderung untuk bertambah dalam tingkat yang lebih besar daripada caranya untuk bertahan. Akibatnya, sesekali ia harus berjuang keras untuk bertahan, dan seleksi alam akan memengaruhi apa yang terletak di dalam jangkauan ini." (Descent of Man, Ps.21) Ia menghubungkan hal ini dengan temuan-temuannya mengenai spesies-spesies yang terkait dengan tempat-tempat, penelitiannya tentang pengembang-biakan binatang, dan gagasan tentang "hukum seleksi alam" (Natural Selection). Menjelang akhir 1838 ia membandingkan ciri-ciri seleksi para peternak dengan seleksi alam menurut teori Malthus dari varian-varian yang terjadi "secara kebetulan" sehingga "setiap bagian dari struktur yang baru diperoleh sepenuhnya dipraktikkan dan disempurnakan", dan menganggap bahwa ini adalah "bagian yang paling indah dari teori saya" tentang bagaimana spesies-spesies itu bermula.
Darwin kini adalah seorang geolog terkemuka di kalangan elit ilmiah di antara para pendeta yang juga adalah kaum naturalis. Secara kuangan ia cukup mapan dengan penghasilan pribadi. Ia mempunyai banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukannya, menuliskan temuan-temuan dan teori-teorinya, dan mengawasi persiapan penulisan rangkaian bukunya Zoologi yang menggambarkan koleksi-koleksinya. Ia yakin akan kebenaran evolusi, namun untuk jangka waktu yang lama ia sadar bahwa transmutasi spesies dihubungkan dengan penyangkalan terhadap Tuhan serta dengan para agitator demokratis di Britania yang berusaha menggulingkan masyarakat. Jadi, penerbitan teorinya dapat mengancam reputasinya. Darwin melakukan banyak percobaan dengan tanaman dan melakukan berbagai konsultasi dengan para peternak binatang, termasuk peternak burung merpati dan babi, sambil berusaha menemukan jawaban-jawaban yang kuat terhadap semua argumen yang diantisipasinya ketika ia menyajikan teorinya di muka umum.
Ketika laporan FitzRoy diterbitkan pada Mei 1839, Jurnal dan Catatan-catatan Darwin mendapatkan sambutan hangat. Belakangan pada tahun yang sama, tulisan itu diterbitkannya sendiri, laku keras dan kini dikenal sebagai The Voyage of the Beagle (Pelayaran Beagle).
Implikasi Teori Evolusi Darwin
1. Asal Usul Spesies
Teori utama Darwin bahwa spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau dan bila diurut lebih lanjut semua spesies makhluk hidup diturunkan dari nenek moyang umum yang sama. Seperti yang juga diperkirakan oleh Darwin. Teorinya akan ditentang banyak pihak. Para penentang teori ini dikategorikan dalam tiga kelompok utama:
a. Kelompok yang berpendapat bahwa teori Darwin tersebut tidak cukup “ilmiah”.
b. Kelompok “Creationist” yang berpendapat bahwa masing-masing spesies diciptakan khusus oleh yang Maha Kuasa untuk tujuan tertentu.
c. Kelompok penganut filsafat “idealist” yang berpendapat bahwa spesies tidak berubah. Variasi yang ada merupakan tiruan tidak sempurna dari pola umum “archetypes”. Goethe mengabstaksikan satu archetype atau Urbild untuk semua tanaman (Urplanze) dan beberapa Bauplane untuk hewan.
Untuk para penentangnya dari dua kelompok pertama di atas Darwin cukup menandaskan bahwa keajaiban-keajaiban atau intervensi dari kekauatan supranatural dalam pembentukan spesies adalah tidak ilmiah. Dalam menanggapi kelompok Idealist (seperti Owen dan Lois Agassiz) Darwin mampu menangkis dengan baik. Pada Origin edisi pertama, Darwin (1959) di halaman 435, menyimpulkan bahwa penjelasan Owen pada masalah archetype adalah “interesting” dan “unity of type”nya merupakan “hukum” biologi yang penting. Kemudian setelah Owen lebih keras lagi menentang teorinya. Darwin pada edisi berikutnya menambahkan “…tetapi itu bukan penjelasan ilmiah”. Menurut Darwin penjelasan tentang “homologi” dan “unity of types” terkait dengan nenek moyang adalah ilmiah, sementara penjelasan terkait dengan archetype tidak ilmiah. Oleh karena Darwin memandang masalah ini sebagai proses, sementara konsep archetype adalam timeless. Secara umum Darwin adalam penganut paham Materialisme.
2. Seleksi Alam
Darwin mengemukakan bahwa seleksi alam merupakan agen utama penyebab terjadinya evolusi. Darwin (dan Wallace) menyimpulkan seleksi dari prinsip yang dikemukakan oleh Malthus bahwa setiap populasi cendrung bertambah jumlahnya seperti deret ukur, dan sebagai akibatnya cepat atau lambat akan terjadi perbenturan antar anggota dalam pemanfaatan sumber daya khususnya bila ketersediaannya terbatas. Hanya sebagian, seringkali merupakan bagian kecil, dari keturunannya bertahan hidup: sementara besar lainnya tereliminasi.
Dengan berkembangnya ilmu genetika, teori itu diperkaya sehingga muncul Neo Darwinian. Menurut Lemer (1958), definisi seleksi alam adalah segala proses yang menyebabkan pembedaan non random dalam reproduksi terhadap genotype; atau allele gen dan kompleks gen dari generasi ke generasi berikutnya.
Anggota populasi yang membawa genotype yang lebih adaptif (superior) berpeluang lebih besar untuk bertahan daripada keturunan yang inferior. Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara jumlah individu inferior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya. Seleksi alampun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat bertahan hidup dalam beberapa generasi. Contohnya adalah pada jenis fauna yang memiliki beberapa generasi dalam satu tahun. Jika makanan dan sumberdaya yang lain tidak terbatas selama suatu musim, populasi akan bertambah seperti deret ukur dengan tidak ada kematian di antara keturunannya. Hal itu tidak berarti seleksi tidak terjadi, karena anggota populasi dengan genotype yang berbeda memproduksi keturunan dalam jumlah yang berbeda atau berkembang mencapai matang seksual pada kecepatan yang berbeda. Musim yang lain kemungkinan mengurangi jumlah individu secara drastic tanpa pilih-pilih. Jadi pertumbuhan eksponensial dan seleksi kemungkinan akan dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Pebedaan fekunditas, sesungguhnya juga merupakan agent penyeleksi yang kuat karena menentukan perbedaan jumlah individu yang dapat bertahan hidup atau dan jumlah individu yang akan mati, yang ditunjukkan dalam angka kematian (Dobzhansky, 1970).
Darwin telah menerim, namun dengan sedikit keraguan, slogan Herbert Spencer “survival of the fittest in the struggle for life” sebagai altenatif untuk menerangkan proses seleksi alam, namun saat ini slogan itu nampaknya dipandang tidak sepenuhnya tepat. Tidak hanya individu atau jenis yang terkuat tetapi mereka yang lumayan pas dengan lingkungan dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam kondisi seleksi yang lunak atau halus semua individu atau jenis pembawa genotype yang bermacam-macam dapat bertahan hidup ketika populasi berkurang. Individu yang fit (individu yang sesuai dengan lingkungan dapat bertoleransi dengan lingkungan) tidak harus mereka yang paling kuat, paling agresif atau paling bertenaga, melainkan mereka yang mampu bereproduksi menghasilkan keturunan dengan jumlah terbanyak yang viable dan fertile.
Seleksi alam tidak menyebabkan timbulnya material baru (bahan genetic yang baru yang di masa mendatang akan datang diseleksi lagi),melainkan justru menyebabkan hilangnya suatu varian genetic atau berkurang frekuensi gen tertentu. Seleksi alam bekerja efektif hanya bila populasi berisi dua atau lebih genotype, yang mana dari varian itu ada yang akan tetap bertahan atau ada yang tereliminasi pada kecepatan yang berbeda-beda. Pada seleksi buatan, breeder akan memilih varian genetic (individu dengan genotype) tertentu untuk dijadikan induk untuk generasi yang akan datang. permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetic penyebab keanekaragaman genetic pada varian-varian yang akan obyek seleksi oleh alam. Permasalahan itu terpecahkan setelah T.H Morgan dan kawan-kawan meneliti mutasi pada lalat buah Drosophilia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mutasi menyuplai bahan mentah genetic yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman genetic dimana nantinya seleksi alam bekerja (Dobzhansky, 1970).
Implikasi dari teori evolusi melalui ala mini sangat luas, tidak hanya mencakup bidang filsafat namun juga social-ekonomi dan budaya:
  • Penggantian cara pandang bahwa dunia tidak statis melainkan berevolusi.
  • Paham creationisme berkurang pengaruhn ya.
  • Penolakan terhadap teleology kosmis.
  • Penjelasan “desain” di dunia oleh proses materialistic seleksi alam, proses yang mencakup interaksi antara variasi yang tidak beraturan dan reproduksi yang sukses bersifat oportunistik yang sepenuhnya jauh dari dogma agama.
  • Penggatian pola pikir Essensialisme oleh pola pikir populasi.
  • Memberikan inspirasi yang disalahgunakan untuk tujuan yang tidak baik seperti gerakan Nazi di Jerman, Musolini di Italia, kebijakan “eugenic” di Singapura di masa Lee Kuan Yu dan berkembangnya ekonomi liberal yang dikemas dengan label Social-Darwinian.
Darwinisme
Sejarah Singkat Darwinisme
Banyak orang percaya bahwa teori evolusi yang pertama kali dicetuskan oleh Charles Darwin adalah teori yang didasarkan atas bukti, pengkajian dan percobaan ilmiah yang dapat dipercaya. Namun, pencetus awal teori evolusi ternyata bukanlah Darwin, dan, oleh karenanya, asal mula teori ini bukanlah didasarkan atas bukti ilmiah.
Pada suatu masa di Mesopotamia, saat agama penyembah berhala diyakini masyarakat luas, terdapat banyak takhayul dan mitos tentang asal-usul kehidupan dan alam semesta. Salah satunya adalah kepercayaan tentang "evolusi". Menurut legenda Enuma-Elish yang berasal dari zaman Sumeria, suatu ketika pernah terjadi banjir besar di suatu tempat, dan dari banjir ini tiba-tiba muncul tuhan-tuhan yang disebut Lahmu dan Lahamu. Menurut takhayyul yang ada waktu itu, para tuhan ini pertama-tama menciptakan diri mereka sendiri. Setelah itu mereka melingkupi keseluruhan alam semesta dan kemudian membentuk seluruh materi lain dan makhluk hidup. Dengan kata lain, menurut mitos bangsa Sumeria, kehidupan terbentuk secara tiba-tiba dari benda tak hidup, yakni dari kekacauan dalam air, yang kemudian berevolusi dan berkembang.
Kita dapat memahami betapa kepercayaan ini berkaitan erat dengan pernyataan teori evolusi: "makhluk hidup berkembang dan berevolusi dari benda tak hidup." Dari sini kita dapat memahami bahwa gagasan evolusi bukanlah diawali oleh Darwin, tetapi berasal dari bangsa Sumeria penyembah berhala.
Di kemudian hari, mitos evolusi tumbuh subur di peradaban penyembah berhala lainnya, yakni Yunani Kuno. Filsuf materialis Yunani kuno menganggap materi sebagai keberadaan satu-satunya. Mereka menggunakan mitos evolusi, yang merupakan warisan bangsa Sumeria, untuk menjelaskan bagaimana makhluk hidup muncul menjadi ada. Demikianlah, filsafat materialis dan mitos evolusi muncul dan berjalan beriringan di Yunani Kuno. Dari sini, mitos tersebut terbawa hingga ke peradaban Romawi.
Kedua pemikiran tersebut, yang masing-masing berasal dari kebudayaan penyembahan berhala ini, muncul lagi di dunia modern pada abad ke-18. Sejumlah pemikir Eropa yang mempelajari karya-karya bangsa Yunani kuno mulai tertarik dengan materialisme. Para pemikir ini memiliki kesamaan: mereka adalah para penentang agama.
Demikianlah, dan yang pertama kali mengulas teori evolusi secara lebih rinci adalah biologiwan Prancis, Jean Baptiste Lamarck. Dalam teorinya, yang di kemudian hari diketahui keliru, Lamarck mengemukakan bahwa semua mahluk hidup berevolusi dari satu ke yang lain melalui perubahan-perubahan kecil selama hidupnya. Orang yang mengulang pernyataan Lamark dengan cara yang sedikit berbeda adalah Charles Darwin.
Darwin mengemukakan teori tersebut dalam bukunya The Origin of Species, yang terbit di Inggris pada tahun 1859. Dalam buku ini, mitos evolusi, yang diwariskan oleh peradaban Sumeria kuno, dipaparkan lebih rinci. Dia berpendapat bahwa semua spesies makhluk hidup berasal dari satu nenek moyang, yang muncul di air secara kebetulan, dan mereka tumbuh berbeda satu dari yang lain melalui perubahan-perubahan kecil yang terjadi secara kebetulan.
Pernyataan Darwin tidak banyak diterima oleh para tokoh ilmu pengetahuan di masanya. Para ahli fosil, khususnya, menyadari pernyataan Darwin sebagai hasil khayalan belaka. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, teori Darwin mulai mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Hal ini disebabkan Darwin dan teorinya telah memberikan landasan berpijak ilmiah - yang dahulunya belum diketemukan- bagi kekuatan yang berkuasa pada abad ke-19.
Alasan Ideologis Penerimaan Darwinisme
Ketika Darwin menerbitkan buku The Origin of Species dan memunculkan teori evolusinya, ilmu pengetahuan kala itu masih sangat terbelakang. Misalnya, sel, yang kini diketahui memiliki sistem teramat rumit, hanya tampak seperti bintik noda melalui mikroskop sederhana waktu itu. Karenanya, Darwin merasa tidak ada yang salah ketika menyatakan bahwa kehidupan muncul secara kebetulan dari materi tak hidup.
Demikian pula, catatan fosil yang tidak lengkap waktu itu memberi celah bagi penyataan bahwa mahluk hidup telah terbentuk dari satu spesies ke spesies yang lain melalui perubahan sedikit demi sedikit. Sebaliknya, kini telah jelas bahwa catatan fosil, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tidak memberikan secuil bukti apapun yang mendukung pernyataan Darwin bahwa suatu makhluk hidup muncul dari perkembangan makhluk hidup lain yang telah ada sebelumnya. Hingga baru-baru ini, para evolusionis terbiasa mengelak dari kebuntuan yang menghadang mereka tersebut dengan berdalih, "Ini akan ditemukan suatu saat di masa mendatang." Tetapi, mereka sekarang tidak lagi mendapatkan tempat bersembunyi di balik penjelasan ini (Untuk lebih lengkapnya, silahkan membaca Bab "Kekeliruan Teori Evolusi")
Apapun yang terjadi, keyakinan para Darwinis terhadap teori evolusi tidak berubah sedikitpun. Para pendukung Darwin telah datang dan hadir hingga zaman kita dan, layaknya harta warisan, mereka melimpahkan kesetiaan kepada Darwin ke generasi selanjutnya secara turun-temurun selama 150 tahun terakhir.
Jika demikian, apakah yang menjadikan Darwinisme diminati sejumlah kalangan dan disebarlu-askan melalui propaganda besar-besaran, padahal fakta tentang ketidakabsahan ilmiahnya kini telah nampak jelas?
Yang paling menonjol dari teori Darwin adalah pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta. Menurut teori evolusi, kehidupan membentuk dirinya sendiri tanpa sengaja dari bahan-bahan pembentuknya yang telah ada di alam. Pernyataan Darwin ini memberikan pembenaran ilmiah palsu bagi semua filsafat kaum anti Tuhan, dimulai dari filsafat kaum materialis. Sebab, hingga abad ke-19, sebagian besar para ilmuwan melihat ilmu pengetahuan sebagai sarana mempelajari dan menemukan ciptaan Allah. Karena keyakinan ini tersebar luas, filsafat atheis dan materialis tidak menemukan lahan subur untuk tumbuh berkembang. Namun, pengingkarannya terhadap keberadaan Pencipta dan dukungan 'ilmiah' yang diberikannya kepada keyakinan atheis dan materialis menjadikan teori Evolusi sebagai kesempatan emas bagi mereka. Karena alasan ini, kedua filsafat tersebut berpihak kepada Darwinisme dan menyelaraskan teori ini dengan ideologi mereka sendiri.
Selain penyangkalan Darwinisme terhadap keberadaan Tuhan, terdapat pernyataan lainnya mendukung berbagai ideologi materialistis abad ke-19: "Perkembangan makhluk hidup dipengaruhi oleh perjuangan untuk mempertahankan hidup di alam. Perseteruan ini dimenangkan oleh yang terkuat. Yang lemah akan kalah dan punah."
Kaitan erat Darwinisme dengan ideologi-ideologi yang telah menimpakan penderitaan dan bencana terhadap dunia diungkap dengan jelas dalam bagian ini.
Darwinisme Sosial : Penerapan Hukum Rimba Dalam Kehidupan Manusia
Salah satu pernyataan terpenting teori evolusi adalah "perjuangan untuk mempertahankan hidup" sebagai pendorong utama terjadinya perkembangan makhluk hidup di alam. Menurut Darwin, di alam terjadi perkelahian tanpa mengenal belas kasih demi mempertahankan hidup, ini adalah sebuah pertikaian abadi. Yang kuat selalu mengalahkan yang lemah, dan ini mendorong terjadinya perkembangan. Judul tambahan buku The Origin of Species merangkum pandangan ini. "The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life" ("Asal-Usul Spesies melalui Seleksi Alam atau Pelestarian Ras-Ras Pilihan dalam Perjuangan untuk Mempertahankan Hidup.")
Yang mengilhami Darwin tentang hal ini adalah buku karya ekonom Inggris, Thomas Malthus: An Essay on The Principle of Population. Buku ini memperkirakan masa depan yang cukup suram bagi umat manusia. Menurut perhitungan Malthus, jika dibiarkan, populasi manusia akan meningkat dengan sangat cepat. Jumlahnya akan berlipat dua setiap 25 tahun. Namun, persediaan makanan tidak akan bertambah pada laju yang sama. Dalam keadaan ini, manusia menghadapi bahaya kelaparan yang tiada henti. Yang mampu menekan jumlah populasi ini adalah bencana, seperti perang, kelaparan, dan penyakit. Singkatnya, agar sebagian orang tetap bertahan hidup, maka sebagian yang lain perlu mati. Kelangsungan hidup berarti "perang tanpa henti".
Menurut Darwin buku Malthuslah yang mejadikannya berpikir tentang perjuangan demi mempertahankan hidup:
Dalam bulan Oktober 1838, yakni 15 bulan setelah saya memulai pengkajian sistematis saya, saya kebetulan membaca buku Malthus tentang kependudukan sekedar untuk hiburan, dan setelah sebelumnya memahami bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup yang terjadi di mana-mana, berdasarkan pengamatan berulang-ulang terhadap kebiasaan pada binatang dan tumbuhan, saya seketika tersadarkan bahwa keadaan ini mendorong variasi menguntungkan untuk cenderung lestari dan yang tidak menguntungkan akan musnah. Hasilnya adalah pembentukan spesies baru. Di sinilah saya pada akhirnya menemukan sebuah teori yang dapat saya pakai.2
Pada abad ke-19, gagasan Malthus telah diterima oleh masyarakat luas. Sejumlah kalangan intelektual Eropa kelas atas secara khusus mendukung gagasan Malthus ini. Perhatian besar yang diberikan Eropa abad ke-19 kepada pemikiran Malthus tentang populasi tercantum dalam artikel The Scientific Background of the Nazi "Race Purification" Programme (Latar Belakang Ilmiah Program "Pemurnian Ras" oleh Nazi ) :
Pada paruh pertama abad ke-19, di seluruh Eropa, para anggota kalangan yang berkuasa berkumpul membicarakan "masalah kependudukan" yang baru ditemukan, dan untuk merumuskan cara menerapkan anjuran Malthus untuk meningkatkan laju kematian orang-orang miskin: "Sebagai ganti ajakan hidup bersih kepada orang-orang miskin, kita harus menganjurkan kebiasaan hidup yang sebaliknya. Di kota-kota kita, kita hendaknya menjadikan jalanan semakin sempit, menjejali lebih banyak orang yang tinggal dalam rumah, dan mendorong munculnya kembali wabah penyakit. Di negeri ini kita harus membangun desa-desa di dekat tempat genangan air, dan secara khusus menganjurkan pemukiman di semua tempat basah rentan banjir dan tidak sehat," dan seterusnya, dan seterusnya.3
Akibat kebijakan biadab ini, yang kuat akan mengalahkan yang lemah dalam perseteruan untuk mempertahankan hidup, dan dengan demikian laju pertumbuhan penduduk yang cepat akan dapat ditekan. Di Inggris pada abad ke-19, program "penjejalan orang-orang miskin" ini telah benar-benar diterapkan. Sebuah sistem industri didirikan sebagai tempat di mana anak-anak berusia delapan atau sembilan tahun bekerja selama 16 jam sehari di pertambangan batubara, di mana ribuan dari mereka meninggal akibat keadaan yang buruk tersebut. Gagasan tentang "perjuangan untuk mempertahankan hidup" yang dianggap penting dalam teori Malthus, telah mengakibatkan jutaan orang miskin di Inggris menjalani hidup penuh penderitaan.
Darwin, yang terpengaruh pemikiran Malthus, menerapkan cara pandang ini ke seluruh alam kehidupan, dan mengatakan bahwa peperangan ini, yang benar-benar ada, akan dimenangkan oleh yang terkuat dan yang paling layak hidup. Pernyataan Darwin tersebut berlaku pada semua tanaman, binatang, danmanusia. Ia juga menekankan bahwa perseteruan untuk mempertahankan hidup ini adalah hukum alam yang senantiasa ada dan tak pernah berubah. Dengan menolak adanya penciptaan, ia mengajak orang-orang menanggalkan keyakinan agama mereka dan dengan demikian berarti pula seruan untuk meninggalkan segala prinsip etika yang dapat menjadi penghalang bagi kebiadaban dalam "perjuangan untuk mempertahankan hidup."
Karena alasan inilah teori Darwin mendapatkan dukungan dari kalangan yang berkuasa, bahkan sejak teori tersebut baru saja didengar, awalnya di Inggris dan selanjutnya di negeri Barat secara keseluruhan. Kaum imperialis, kapitalis, dan materialis lainnya yang menyambut hangat teori ini, yang memberikan pembenaran ilmiah bagi sistem politik dan sosial yang mereka dirikan, tidak kehilangan waktu untuk segera menerimanya. Dalam waktu singkat, teori evolusi telah dijadikan satu-satunya patokan utama dalam berbagai bidang yang menjadi kepentingan masyarakat, dari sosiologi hingga sejarah, dari psikologi hingga politik. Di setiap pokok bahasan, gagasan yang mendasari adalah semboyan "perjuangan untuk bertahan hidup" dan "kelangsungan hidup bagi yang terkuat"; dan partai politik, bangsa, pemerintahan, perusahaan dagang, dan perorangan mulai menjalani kegiatan atau kehidupannya dengan berpedomankan semboyan ini. Karena ideologi-ideologi yang berpengaruh di masyarakat telah menyelaraskan diri dengan Darwinisme, propaganda Darwinisme mulai dilakukan di segala bidang, dari pendidikan hingga seni, dari politik hingga sejarah. Terdapat upaya untuk menghubung-hubungkan setiap bidang yang ada dengan Darwinisme, dan untuk memberikan penjelasan pada tiap bidang tersebut dari sudut pandang Darwinisme. Akibatnya, meskipun orang-orang tidak memahami Darwinisme, berbagai pola masyarakat yang menjalani kehidupan sebagaimana perkiraan Darwinisme mulai terbentuk.
Darwin sendiri menganjurkan agar pandangannya yang didasarkan pada evolusi diterapkan pada pemahaman tentang etika dan ilmu-ilmu sosial. Darwin mengatakan berikut ini kepada H.Thiel dalam sebuah surat pada tahun 1869:
Anda akan segera meyakini betapa tertariknya saya ketika mendapati bahwa dalam masalah-masalah moral dan sosial anda menerapkan pandangan-pandangan yang serupa dengan yang telah saya gunakan dalam masalah perubahan spesies. Awalnya tidak terpikirkan dalam diri saya bahwa pandangan-pandangan saya dapat diperlebar ke bidang-bidang yang demikian luas, berbeda, dan paling penting.4
Dengan diterimanya pula gagasan "pertikaian di alam" dalam kehidupan manusia, peperangan dengan mengatas-namakan rasisme, Fasisme, Komunisme, dan imperialisme, dan tindakan golongan kuat untuk menindas orang-orang yang mereka anggap lebih lemah, kini terbungkus dengan topeng ilmiah. Sejak saat itu, mustahil menyalahkan atau menghalangi mereka yang melakukan pembantaian biadab, yang memperlakukan manusia layaknya binatang, yang mendorong pertikaian di antara sesama, yang merendahkan orang lain karena ras mereka, yang mematikan usaha kecil dengan dalih kompetisi, dan yang enggan membantu orang miskin. Sebab mereka melakukan ini semua sesuai dengan hukum alam yang "ilmiah".
Penjelasan ilmiah baru ini dikenal dengan nama "Darwinisme Sosial".
Salah seorang ilmuwan evolusionis terkemuka zaman kita, paleontolog Amerika, Stephen Jay Gould menerima kebenaran ini dengan menuliskan bahwa, menyusul penerbitan buku The Origin of Species pada tahun 1859, "alasan yang kemudian dipakai untuk membenarkan perbudakan, penjajahan, pembedaan ras, pertikaian antar kelas masyarakat, dan peran jenis kelamin dikemukakan dengan dukungan utama dari ilmu pengetahuan."5
Ada satu hal sangat penting untuk diketahui disini. Di setiap kurun sejarah manusia, terjadi peperangan, kekejaman, kebiadaban, rasime, dan pertikaian. Tetapi, di setiap masa selalu ada agama wahyu yang mengajarkan manusia bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, dan mengajak mereka kepada perdamaian, keadilan, dan ketentraman. Oleh karena manusia mengetahui ajaran agama wahyu ini, mereka setidaknya memahami kekeliruan mereka ketika terjerumus kepada tindak kekerasan.
Tapi sejak abad ke-19, Darwinisme menyatakan bahwa perseteruan dan ketidakadilan demi memperebutkan keuntungan, memiliki unsur pembenaran ilmiah bagi mereka, dan mereka juga mengatakan bahwa semua ini merupakan bagian dari sifat fitrah manusia, bahwa dalam dirinya manusia memiliki kecenderungan bertindak biadab dan agresif yang merupakan peninggalan dari oleh nenek moyangnya, dan seperti halnya dengan binatang yang terkuat dan paling agresif akan bertahan hidup, hukum yang sama ini berlaku pada manusia. Di bawah pengaruh pemikiran ini, peperangan, penderitaan, dan pembantaian mulai terjadi di banyak tempat di seluruh dunia. Darwinisme mendukung dan mendorong semua pergerakan yang mendatang-kan penderitaan, pertumpahan darah, dan penindasan kepada dunia. Paham ini memperlihatkan berbagai tindakan tersebut sebagai hal yang masuk akal dan dapat dibenarkan, dan medukung semua penerapannya. Karena adanya dukungan ilmiah ini, ideologi berbahaya lainnya bermunculan dan tumbuh semakin kuat, dan hasil yang didapat adalah "abad penderitaan" pada abad ke-20.
Dalam bukunya "Darwin, Marx, Wagner" profesor sejarah Jacques Barzun menyelidiki penyebab ilmiah, sosiologis, dan budaya dari kehancuran moral dahsyat yang menimpa dunia modern. Pernyataan dari buku Bazrun ini sungguh menarik jika dilihat dari sudut pandang pengaruh Darwinisme terhadap dunia:
... di setiap negeri Eropa antara tahun 1870 dan 1941 terdapat golongan pro-peperangan yang menuntut persenjataan, golongan individualis yang menuntut kompetisi tanpa belas kasih, golongan imperialis yang menuntut penjajahan atas masyarakat terbelakang, golongan sosialis yang menuntut kekuasaan, dan kelompok rasialis yang menuntut pembersihan internal dari orang-orang asing - kesemuanya ini, ketika dalih keserakahan dan ketenaran telah gagal, atau bahkan sebelumnya, menyebut nama Spencer dan Darwin, yang boleh dikatakan sebagai penjelmaan ilmu pengetahuan... Ras adalah sesuatu yang biologis, yang berkaitan dengan masalah sosiologi, dan juga berhubungan dengan Darwin.6
Di abad ke-19, ketika Darwin mengajukan pernyataannya bahwa mahluk hidup tidak diciptakan, melainkan telah muncul secara kebetulan, dan bahwa manusia mempunyai nenek moyang yang sama dengan binatang, dan telah muncul sebagai makhluk hidup yang paling berkembang dan maju sebagai hasil peristiwa kebetulan, mungkin kebanyakan orang tidak dapat membayangkan apa akibat dari pernyataan ini. Tetapi di abad ke-20, dampak dari pernyataan ini tampak nyata dalam wujud berbagai pengalaman yang sungguh mengerikan. Mereka yang melihat manusia sebagai binatang yang telah berkembang, tidak ragu untuk bangkit dengan menginjak-injak yang lemah, mencari jalan untuk memusnahkan yang sakit dan lemah, dan melakukan pembantaian untuk menghapuskan ras yang mereka anggap berbeda dan lebih rendah. Semuanya terjadi karena teori mereka yang berkedok ilmu pengetahuan ini mengatakan kepada mereka bahwa ini adalah "hukum alam."