A. Pendahuluan
Era
skolastik ditandai dengan kemunculan sekolah-sekolah yang didalamnya tertuang
muatan kurikulum yang bersifat duniawi, yaitu 7 kesenian bebas atau dikenal
dengan istilah latin “Artes liberales” yang dibagi dalam
dua bagian yang dipisahkan yaitu : 1) tiga mata pelajaran kebahasaan (trivium)
meliputi tata bahasa, retorika, dan dealektika, yang merupakan kurukulum
pendidikan umum. 2) empat mata pelajaran kematematikaan (quadravium) meliputi ilmu
hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik, sebagai kurikulum pada tingkat
sarjana
Era
skolastik berlangsung dari abad ke-11 sampai dengan abad ke-14, yang dapat
dibagi menjadi tiga bagian yaitu : abad ke-11 adalah awal kemunculan era
skolastik di Eropa Barat, yang ditandai dengan perubahan arah pemikiran dari intelektualis
menuju pola pikir religius, sehingga secara berpikir dialektika semakin
menonjol dan fenomenal rasionalistik mulai masuk dalam pemikiran-pemikiran
teologis dengan pertentangan pemikiran mengenai Universalia (pengertian
yang umum).
Pada
abad ke-12 sampai dengan abad ke-13 adalah masa kejayaan skolastik sebagai
akibat dari meluasnya hubungan pemikiran masyarakat Eropa dengan
pemikiran-pemikiran Yunani. Arah pemikiran skolastik kemudian sangat
dipengaruhi oleh pemikiran plato dan aristoteles berkisar pada persoalan
tentang universalia, serta essentia dan eksistensia. Pada pertengahan abad
ke-13 sampai dengan abad ke-14 adalah masa akhir skolastik yang melahirkan
bentuk aliran pemikiran yang disebut via moderna atau jalan modern, yang
menolak pemikiran metafisik sebagaimana berkembang di abad ke-12. Pemikiran
skolastik pada akhir abad ke-13 lebih mengarah kepada metode pengenalan manusia
yang bersifat nominalis.
Terdapat
beberapa tokoh dan konsep pemikiran pada era skolastik yang penting untuk
dikaji yaitu : perspektif pikir universalisme, hilemorfisme dan nominalisme
sebagai aspek yang menarik untuk didiskusikan sebagai suatu rangkaian pengaruh
dari pemikiran Yunani melalui pemikiran Arab.
A.
Universalisme
: Sifat Umum Realitas
Pada
abad ke-11 konsep universalia dianggap sebagai sebuah realitas objektif yang
berada diluar manusia dan tidak tergantung oleh proses pengetahuan manusia
(pada sisi ini konsep universalia bertentangan dengan idealisme dalam pemikiran
plato, meski terkait dengan aspek lainnya) tetapi dimiliki oleh Tuhan.
Persoalan besar dalam konstalasi pemikiran pada abad ke-11 adalah pada
pemecahan arah hubungan yang tepat antara akal dan iman serta persoalan
realitas konsep umum.
Konsep
universalia memandang segala sesuatu yang konkrit sesungguhnya hanya merupakan
penjelmaan dari pengertian yang umum. Adapun tokoh yang akan dibicarakan dalam
abad ke-11 ini adalah Anselmus (1033-1109) dan Petrus Abelardus (1079-1142).
1.
Realitas
Universal Misbah Antara Akal dan Iman : Anselmus
Anselmus
Canterbury lahir di Italia, ia memimpin sekolah biara di kota Bec Prancis
sebelum menjadi uskup agung di Canterbury Inggris. Anselmus mengembangkan
konsep pemikiran yang bersifat dialektik dengan mengawinkan rasio dan iman.
Sebuah istilah yang terkenal dikemukakan oleh Anselmus adalah “Cerdo
ut intelligan” yang artinya : “saya percaya supaya saya mengerti”.
Menurut
Anselmus pengertian-pengertian umum atau universlia bukan hanya sebutan belaka,
akan tetapi memiliki realitas secara utuh. Universalia sungguh-sungguh ada
dalam kenyataannya sebagai sebuah ide-ide yang terdapat dalam Tuhan dan tidak
tergantung dari segala aspek yang bersifat konkret dan individual. Pemikiran
Anselmus secara umum sangat besar pengaruhnya bagi tokoh dan pemikiran
skolastik pada abad ke-12.
2.
Kedudukan
Universalia : Petrus Abelardus
Abelardus
dilahirkan di Le Pallet sebuah wilayah dekat kota Nantes Prancis. Ia dikenal
mempunyai pemikiran yang sangat tajam dalam melakukan pembaharuan-pembaharuan
metode pemikiran serta mengemukakan persoalan-persoalan dialektis yang
kontemporer pada zamannya. Abelardus membangun pemikirannya tentang pengertian
yang umum atau universalia pada posisi antara pemikiran ultra realisme yang
bermuara pada pemikiran Aristoteles dengan pemikiran nominalis.
Abelardus
mengemukakan pemikiran yang cenderung bersifat dialektik, bahwa sesuatu yang
nyata dalam arti yang sesungguhnya adalah sesuatu yang sifatnya konkrit secara
individual dapat dipahami “ada”nya. Pengertian yang bersifat umum atau
universalia, bukanlah sebuah benda (res)
atau kata-kata (voces) melainkan
suatu pernyataan yang memiliki isi yang ideal (sermo).
Pemikiran
Abelardus memiliki sisi penting dalam perkembangan pemikiran manusia terutama
dalam pendekatan konseptual dan abstraksi, yang menekankan bahwa akal pikiran
manusia dapat memikirkan sifat-sifat yang bermacam-macam secara konseptual yang
hasilnya merupakan sebuah abstraksi dari macam-macam sifat tersebut.
B.
Pewarisan
Pemikiran Yunani Di Arab
Pada
sekitar tahun 830 sampai dengan tahun 1037 terdapat sebuah gerakan pengumpulan
naskah-naskah filsafat Yunani di Arab. Pemikiran yang berkembang di Arab dapat
dibagi kedalam dua periode, yaitu periode perkembangan yang berpusat di Iraq,
Iran, dan Turkistan yang sangat cenderung dipengaruhi oleh konsep-konsep
pemikiran plato. Kemudian pada periode kedua berkembang di daerah Andalusia
atau Spanyol yang cenderung bersifat peripatetik. Secara umum pengaruh
pemikiran Yunani di Arab membentuk sebuah kostalasi pemikiran teologis Islam.
1.
Emanasi
dan Pengetahuan : Al-Farabi
Al-Farabi
(872-950) dilahirkan di Turkistan dan telah menyusun 18 tafsir atas karya-karya
Aristoteles, meskipun demikian titik pangkal pemikirannya justru berasal dari
Plotinus. Kincu pemikiran Al-Farabi terletak pada Konsepnya tentang esensi metafisik (dikemukakan dalam “Fusus
fi’l-hikmah”) yang membedakan esensi (dzat) dengan eksistensi (wujud). Esensi
terkait dengan ‘apa’nya sesuatu, sedangkan eksistensi terkait dengan ‘ada’nya
sesuatu.
Konsep
awal pemikiran Al-Farabi tersebut mengantarkan pemikiran trasendensi Tuhan
sebagai asal mula segala sesuatu. Selanjtnya Al-Farabi mengemukakan
permasalahan pemikiran yaitu adanya diskontinuitas atau jurang yang mendasar
secara ontologik yang membedakan antara dzat dan wujud Tuhan dengan dzat dan
wujud manusia. Jurang yang membedakan tersebut hanya dapat dijembatani dengan
kontinuitas kosmologis secara emanasi yang kemudian dalam proses emanasi itu
terdapat konsep pengetahuan.
Proses
emanasi menurut Al-Farabi bersifat kontinuitas dan berlandaskan pada asas “La yafaidu an al-wahidin illa wahidun”
yang berarti bahwa sesuatu yang ada dan berasal dari yang satu pasti adalah
yang satu juga. Pada sisi lain Al-farabi juga mensintesakan pemikiran
Aristoteles dan Plato dalam konsep-konsep pengetahuan dan konsep lain dari
pemikirannya yaitu negara. Konsep pemikiran yang menarik dari Al-farabi adalah
pada sistematisasi konsepnya tentang pengetahuan ide yang disusun secara
sitematik logik menurut konsep religi, antara yang ada pertama, malaikat
sebagai agen intelektual dan manusia.
2.
Hakikat
Wujud dan Akal : Ibnu Sina
Ibnu
Sina (980-1037) dilahirkan di Bukhara Turki, adalah seorang yang sangat
fenomenal dalam tradisi pemikiran Arab. Ibnu Sina pada umur sekitar 10 tahun
telah menghapal kitab suci Al Quran dan telah membaca hampir seluruh
karya-karya sastra Arab di zamannya; pada umur 16 tahun ia telah terkenal
dengan kemampuannya dalam ilmu kedokteran; pada umur 18 tahun ia telah
mempelajari dan menguasai filsafat, astronomi, hukum fiqh Islam, biologi,
mistik, matematika, musik, ilmu bahasa, perhitungan, dan telah membangun suatu
sistem pemikirannya sendiri.
Pemikiran
utama Ibnu Sina terletak pada relasi fisika dan metafisika, menurutnya fisika
mengamati berbagai kenyataan yang ada sejauh yang ada itu bergerak sedangkan
metafisika terkait dengan segala kenyataan yang ada, sejauh yang ada itu dapat
dijangkau oleh pemikiran manusia.
Ibnu
Sina membagi hirarki akal teoritas kedalam empat tingkatan dan kedalam empat
bentuk kegiatan mengetahui yang dapat dilakukan :
1) Aql Bi’l-Quwwat,
yaitu akal yang bersifat pasif yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk
mengetahui, tetapi tidak mampu melakukan tindakan mengetahui
2) Aql Bi’l-Malakah (intellectus
Habitus), yaitu kemampuan akal dalam memahami asas-asas
mutlak atau prinsip-prinsip dasar.
3) Aql Bi’l-Fi’l,yaitu
akal yang melakukan aktifitas mengolah informasi yang diperoleh dari Aql Bi’l-Malakah.
4) Aql Musafat (intelectus Acquisitus),
yaitu akal yang memiliki pengertian secara tetap.
3.
Ilmu
dan Tingkat Pengetahuan : Ibnu Rushd
Ibnu
Rushd atau Ahmad bin Rushd, lahir di Cordova pada tahun 1126 dan secara tekun
mempelajari ilmu fiqh, teologi, ketabiban, astronomi, dan filsafat. Setiap
pemikiran Rushd kemudian juga menjangkau filsafat, ilmu optik, falak, fiqh,
kenegaraan, dan kedokteran. Pemikiran utama Rushd terletak pada sistem
kefilsafatannya. Rushd melakukan penafsiran atas karya Aristoteles sekaligus
memberikan penjelasan-penjelasan. Penafsiran Rushd atas karya Aristoteles
mencakup metafisika, fisik, surga dan dunia, jiwa, dan analitika.
Rushd
menyangga konsep-konsep Aristoteles yang bersandarkan pada dikotomi pengetahuan
manusia dengan Tuhan, dimana Tuhan bersifat umum dan manusia bersifat khusus.
Pada sisi lain Rushd juga menyangga konsep-konsep Neoplatonisme yang melekat
erat pada pemikiran Islam sebelumnya yaitu Farabi dan Sina. Menurut Rushd,
konsep emanasi yang seakan-akan terjadi sebuah proses-proses pemikiran di luar
diri manusia dan kemudian menjadi dasar satu-satunya atas pengetahuan.
Karya
penting Ibnu Rushd berjudul Tahafut
Al-Tahafut merupakan karya polemik atas Tahafut
Al-Falsafah karya Al-Ghazali. Dalam karyanya tersebut, Rushd menegaskan
bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan atas sesuatu berdasarkan
sebabnya. Pertama-tama kita menanggapi hubungan sebab akibat melalui panca
indra, selanjtnya kita memahami sebagai suatu kenyataan melalui akal.
1 komentar:
Lucky Club Casino Site Review ᐈ Get 50 free spins
Lucky Club Casino site review ᐈ Get 50 free spins on Lucky Club Casino. Live Casino Reviews, Bonuses, Games, Promotions, Payments, Support and more. luckyclub
Posting Komentar