Jumat, 30 Maret 2012

Toakala


Toakala adalah legenda sebuah parikadong sangat popular di Kab.Maros,
yang menceritakan tentang sebuah kerajaan toale/ hutan yang 
berlokasi (sekarang)di permandian Alam Bantimurung,
Kab. Maros.


Bermula ketika lahir seorang putri yang cantik jelita di kerajaan Cendrana, ia diberi nama  Bissudaeng. Karena kecantikan dan kelembutannya, jangankan kaum lelaki pada Zaman itu, binatang pun hampir semua tertarik dan akrab kepadanya.
Tersebutlah seorang raja dikerajaan  Toakala, yang memerintah banyak Kera, ketika sunyi melarutkan semedinya, kecapi emas di pangkuannya itu sesekali terdengar menghenyakkan alam Benti Merrung, (nama asli Bantimurung), maka teringatlah ia kepada Bissudaeng saat pertemuanya dipesta raga yang diadakan di kerajaan Marusu. Dalam semedinya Ia pun menerawang, terdengarlah alunan syair lampau yang seumur dengan alam tersebut, “ndi…, sudah dua purnama kita tak bertemu, badanku gemetar hingga kelubuk hatiku, aku…. takkan biarkan karaeng mengurungmu di Istana Cendrana. Oh angin..sampaikan rinduku kelubuk hatinya, sebab tak bersamanya serupa dengan kematian,  Jika aku tak mempersuntingmu Bissudaeng…..biarlah para dewa mengutukku. Bissu Daeng….Oh… Bissu Daeng , Aku bersumpah,……!, o…Boting Langi*’…. Kutuklah  aku menjadi Kera putih jika taqdirku tak bisa mempersuntingnya.
Tiba-tiba bumi berguncang, langit menyeramkan, angin bertiup kencang, petirpun menyambar menjemput sumpah Toakala. Melihat kejadian yang tiba-tiba itu bala tentara Toakala datang dengan tergopoh-gopoh penuh keheranan. katanya “Ada apa Toa, kenapa teriak –teriak, yang menyebabkan alam bergemuruh, padahal aku sementara mengintai Bissudaeng Toa…, lihatlah, di istana Cendrana selalu ramai “, Bissudaeng betul-betul dikelilingi tau kabbalana (kebal senjata) Cendran”, seru kerakara tersebut. “tapi kita pakai akal Toa”, sambil sikapnya melirik pada tuannya, kata seekor kera yang di duga sebagai panglima dari kera tersebut.
Tiba-tiba salah seekor kera  meraih bende dan mengintai kerajaan Cendrana, sambil mengelus-elus badannya, Puto Bambang Riabbo bertanya, pada temannya yang memegang bende, “ siapa yang kau lihat ? dengan berbisik Puto Manniri Ballo menjawab “Bissu Daeng”. Karena penasaran ingin melihat Bissu Daeng, kelima bala tentara Toakala berebut bende tersebut. Puto Garese Ribulo berhasil merebut teropong itu, sambil menggamati, iapun berkata dengan kesalnya, “ ede…..deeeeeeeeh, ka bukan Bissudaeng, tau lolo mandi di Sungai,   Dengan geram Toakala memanggil tentaranya beranjak dari tempat itu.
Pada sebuah taman dekat Balla Lompoa, terdengarlah riuh merdu suara seorang wanita. Setelah beberapa kerumunan yang melingkarinya bergeser, tampaklah  Bissudaeng dihiasi kupu-kupu, pada mahkotanya, rupannya ia sedang bermain dengan dayang-dayangnya. Tapi tak lama setelah keceriaan itu tampaklah sang putri sedang dilanda gundah gulana.
 Tanrosai salah seorang dayang-dayang bertanya, “ Kenapa putri tidak berusaha membujuk karaeng untuk tidak meneruskan keinginannya menjodohkan putri dengan putra kerajaan Marusu, bukankah putri ……?” (tukas cepat), Bissudaeng memotong pembicaraan Tanrosai“Toakala maksudmu Tanrosai, Karaeng adalah ayahandaku, Toakala adalah hidupku. Tapi perjodohan ini sudah tergaris sejak aku masih dalam ayunan.
Tiba-tiba Kanang, dayang lain berbicara meskipun dengan suara yang gemetar, “ maafkan saya putri jika hamba lantang bicara, seandainya putri meninggalkan istana ini, apa yang akan terjadi ?” , “perang kanang”, kata tanrosai jelas-tegas. Kanang menimpali . Artinya jika itu gagal ….Kerajaan Marusu akan memerangi kerajaan Cendrana?.
         Dengan perasaan gundah gulana, Bissudaeng meninggalkan taman itu bersama dayang-dayangnya menuju istana. Tak dinyana tiba-tiba, Bissudaeng di dicegat oleh sekelompok pasukan kera, alhasil Bissudaeng pun diculik, sambil diarak oleh sekelompok kera yang membawanya menuju jalan ke istana kerajaan Toakala.
Perasaan gembira pun meliputi bala tentara Toakala dengan tak sadar berteriak memanggil rajanya,  “Toa…. Bissudaeng, Toa…., Toa….Bissudaeng Toa….”, sambil menggiring Bissudaeng mendekat kearah Toakala yang sedang terkesima, Perasaan Toakala menjadi tak menentu, sambil menatap dalam pada Bissudaeng.
Berkatalah ia dengan suara dingin dan getar, “ Semua ini  terpaksa aku lakukan  Bissudaeng, aku tak pernah gentar menghadapi kerajaan Marusu dan kerajaan Cendrana dan aku sudah siap perang, tak ada yang bisa menghalangiku. Tidak ada yg bisa menghalangiku…!”. suara Toakala seakan  gelegar yang memenuhi langit, pekikan kerapun terdengar nyaring nampaknya ketegasan Toakala membuat Bissudaeng dan para tentaranya menjadi takut.
Suasana sakralpun memenuhi ruang semesta, hening sejenak ketika lamat-lamat prajurit dan kelompok kera tersebut meninggalkan mereka berdua. 

Dengan perasaan sedih, Bissudaeng berkata, “ Sejak pertemuan kita diarena permainan raga di Balla Lompoa, banyak putra-putra kerajaan yang hadir. Aku tak pernah lupa ketika daeng menjatuhkan bola raga di pangkuanku dalam acara marraga itu, peristiwa itu membuat semua orang menatapku tak terkecuali  ayahandaku…, aku berusaha menyakinkan semua orang kalau aku mencintaimu, tapi…. ayahku tetap ayahku,  jadi aku harus patuh kepadanya”.

Toakala  lalu berkata, “ belum cukupkah bukti cinta itu pada semua orang ketika dengan sengaja menjatuh raga itu di pangkuanmu. Ingatkah engkau dengan sutra ini, ku masih menyimpannya ndi.. menyimpanya, Selendangmu ini lebih dari hidupku….

Ditengah pergulatan hati Bissudaeng tentang perjodohannya, kepatuhan pada ayahandanya sekaligus cintanya yang juga mendalam pada Toakala, mengantarainya untuk sampai pada sebuah keputusan pasrah lewat tantangan yang akan dimintanya pada Toakala.
   
Bissudaeng pun berkata, “jika demikian bisakah daeng  mengabulkan permintaanku sebagai mahar ke-permaisuri-an ku. “. ” Apa itu Ndi. “, Toakala menyambung pembicaraan  Bissudaeng dengan sigap dan cepat,” Bendung tujuh mata air di kerajaan Simbang, dan buatkan aku permandian air terjun di Je’ne Taesa “., Pinta Bissudaeng terbata-bata, Toakala menimpali dengan tegas” Jangankan air terjun dinda, istana berlapis emaspun akan aku buatkan“. Merasa dilematis, Bissudaeng pun berkata “Tapi aku hanya memberi waktu satu malam daeng, kalo kanda tidak bisa menyelesaikannya dalam satu malam, berarti saya harus kembali keistana”.

Tanpa bicara Toakala pun mulai bekerja dengan penuh keyakinan, ia mengerjakan permintaan  Bissudaeng semalam suntuk. Peluh mengalir membasahi tubuh Toakala Sejenak ketika  permandian air terjun tersebut hampir selesai, ayampun berkokok menandakan fajar akan segera muncul.

Toakala semakin gencar untuk menyelesaikan pekerjaannya namun, tiba-tiba matahari terbit, langit menjadi mendung, sebuah gejalah alam yang tak biasa, suara Guntur dan petir saling menyambar, pertanda sebuah kutukan telah jatuh dari Dewata Seuwwae.

Toakala berteriak histeris, “Bissudaeng……..,Bissudaeng…….”
Ditatapnya sang kekasih yang terakhir kali, ia tak berdaya oleh taqdir, disela tenaga yang hampir habis, Toakalapun perlahan tumbuh bulu-bulu panjang putih yang menutup seluruh tubuhnya, dipaksakannya panggilan pada kekasihnya yang terakhir kali tapi, Bissudaeng tak lagi bisa mendengarnya, ia hanya menyambut isyarat suara itu dengan lambaian tangan, didepan Bissudaeng berdirilah    patung seekor kera putih, yang kakinya basah oleh tangis Bissudaeng yang di tinggalkan, suara suara alam seakan terhenti tergantikan dengan suara tangis seorang perempuan cantik, “daeng...... (isak tangis Bissu Daeng  memenuhi keheningan Alam Benti Merrung. …
…….Selesai ………….

Bende*semacam teropong
Benti Merrung *Bantimurung kini
Boting Langi *penguasa langit
Dewata seuwwae* dewa di langit
Je’ne Tae’sa*tempat yang tak pernah kering/ selalu berair.
Balla Lompoa’*Rumah kerajaan.

1 komentar:

Radiah Annisa mengatakan...

izin yah untuk jadikan cerita ini sebagai referensi cerpen sy,, dijamin tdk copas. terima kasih..

Posting Komentar