Toakala adalah legenda sebuah parikadong sangat
popular di Kab.Maros,
yang menceritakan tentang sebuah kerajaan toale/ hutan
yang
berlokasi (sekarang)di permandian Alam Bantimurung,
Kab. Maros.
Bermula ketika lahir
seorang putri yang cantik jelita di kerajaan Cendrana, ia diberi nama
Bissudaeng. Karena kecantikan dan kelembutannya, jangankan kaum lelaki pada
Zaman itu, binatang pun hampir semua tertarik dan akrab kepadanya.
Tersebutlah seorang raja
dikerajaan Toakala, yang memerintah banyak Kera, ketika sunyi
melarutkan semedinya, kecapi emas di pangkuannya itu sesekali terdengar
menghenyakkan alam Benti Merrung, (nama asli Bantimurung), maka
teringatlah ia kepada Bissudaeng saat pertemuanya dipesta raga yang
diadakan di kerajaan Marusu. Dalam semedinya Ia pun menerawang, terdengarlah
alunan syair lampau yang seumur dengan alam tersebut, “ndi…, sudah dua
purnama kita tak bertemu, badanku gemetar hingga kelubuk hatiku, aku…. takkan
biarkan karaeng mengurungmu di Istana Cendrana. Oh angin..sampaikan rinduku
kelubuk hatinya, sebab tak bersamanya serupa dengan kematian, Jika aku
tak mempersuntingmu Bissudaeng…..biarlah para dewa mengutukku. Bissu Daeng….Oh…
Bissu Daeng , Aku bersumpah,……!, o…Boting Langi*’…. Kutuklah aku menjadi
Kera putih jika taqdirku tak bisa mempersuntingnya.
Tiba-tiba bumi
berguncang, langit menyeramkan, angin bertiup kencang, petirpun menyambar
menjemput sumpah Toakala. Melihat kejadian yang tiba-tiba itu bala
tentara Toakala datang dengan tergopoh-gopoh penuh keheranan. katanya
“Ada apa Toa, kenapa teriak –teriak, yang menyebabkan alam bergemuruh, padahal
aku sementara mengintai Bissudaeng Toa…, lihatlah, di istana Cendrana selalu
ramai “, Bissudaeng betul-betul dikelilingi tau kabbalana (kebal senjata)
Cendran”, seru kerakara tersebut. “tapi kita pakai akal Toa”, sambil
sikapnya melirik pada tuannya, kata seekor kera yang di duga sebagai panglima
dari kera tersebut.
Tiba-tiba salah seekor
kera meraih bende dan mengintai kerajaan Cendrana, sambil
mengelus-elus badannya, Puto Bambang Riabbo bertanya, pada temannya yang
memegang bende, “ siapa yang kau lihat ? dengan berbisik Puto Manniri
Ballo menjawab “Bissu Daeng”. Karena penasaran ingin melihat Bissu
Daeng, kelima bala tentara Toakala berebut bende tersebut. Puto Garese
Ribulo berhasil merebut teropong itu, sambil menggamati, iapun berkata
dengan kesalnya, “ ede…..deeeeeeeeh, ka bukan Bissudaeng, tau lolo mandi di
Sungai, Dengan geram Toakala memanggil tentaranya beranjak dari
tempat itu.
Pada sebuah taman dekat
Balla Lompoa, terdengarlah riuh merdu suara seorang wanita. Setelah beberapa
kerumunan yang melingkarinya bergeser, tampaklah Bissudaeng
dihiasi kupu-kupu, pada mahkotanya, rupannya ia sedang bermain dengan
dayang-dayangnya. Tapi tak lama setelah keceriaan itu tampaklah sang putri
sedang dilanda gundah gulana.
Tanrosai
salah seorang dayang-dayang bertanya, “ Kenapa putri tidak berusaha membujuk
karaeng untuk tidak meneruskan keinginannya menjodohkan putri dengan putra
kerajaan Marusu, bukankah putri ……?” (tukas cepat), Bissudaeng memotong
pembicaraan Tanrosai. “Toakala maksudmu Tanrosai, Karaeng
adalah ayahandaku, Toakala adalah hidupku. Tapi perjodohan ini sudah tergaris
sejak aku masih dalam ayunan.
Tiba-tiba Kanang,
dayang lain berbicara meskipun dengan suara yang gemetar, “ maafkan saya
putri jika hamba lantang bicara, seandainya putri meninggalkan istana ini, apa
yang akan terjadi ?” , “perang kanang”, kata tanrosai jelas-tegas. Kanang
menimpali . Artinya jika itu gagal ….Kerajaan Marusu akan memerangi kerajaan
Cendrana?.
Dengan perasaan gundah gulana, Bissudaeng meninggalkan taman itu bersama
dayang-dayangnya menuju istana. Tak dinyana tiba-tiba, Bissudaeng di
dicegat oleh sekelompok pasukan kera, alhasil Bissudaeng pun diculik, sambil
diarak oleh sekelompok kera yang membawanya menuju jalan ke istana kerajaan
Toakala.
Perasaan gembira pun
meliputi bala tentara Toakala dengan tak sadar berteriak memanggil
rajanya, “Toa…. Bissudaeng, Toa…., Toa….Bissudaeng Toa….”, sambil
menggiring Bissudaeng mendekat kearah Toakala yang sedang terkesima,
Perasaan Toakala menjadi tak menentu, sambil menatap dalam pada Bissudaeng.
Berkatalah ia dengan suara dingin dan getar, “
Semua ini terpaksa aku lakukan Bissudaeng, aku tak pernah gentar
menghadapi kerajaan Marusu dan kerajaan Cendrana dan aku sudah siap perang, tak
ada yang bisa menghalangiku. Tidak ada yg bisa menghalangiku…!”. suara Toakala
seakan gelegar yang memenuhi langit, pekikan kerapun terdengar nyaring
nampaknya ketegasan Toakala membuat Bissudaeng dan para tentaranya
menjadi takut.
Suasana sakralpun memenuhi ruang semesta, hening
sejenak ketika lamat-lamat prajurit dan kelompok kera tersebut meninggalkan
mereka berdua.
Dengan perasaan sedih,
Bissudaeng berkata, “ Sejak pertemuan kita diarena permainan raga di Balla
Lompoa, banyak putra-putra kerajaan yang hadir. Aku tak pernah lupa ketika
daeng menjatuhkan bola raga di pangkuanku dalam acara marraga itu, peristiwa
itu membuat semua orang menatapku tak terkecuali ayahandaku…, aku
berusaha menyakinkan semua orang kalau aku mencintaimu, tapi…. ayahku tetap
ayahku, jadi aku harus patuh kepadanya”.
Toakala lalu
berkata, “ belum cukupkah bukti cinta itu pada semua orang ketika dengan
sengaja menjatuh raga itu di pangkuanmu. Ingatkah engkau dengan sutra ini, ku
masih menyimpannya ndi.. menyimpanya… , Selendangmu ini lebih
dari hidupku….
Ditengah pergulatan
hati Bissudaeng tentang perjodohannya, kepatuhan pada ayahandanya sekaligus
cintanya yang juga mendalam pada Toakala, mengantarainya untuk sampai pada
sebuah keputusan pasrah lewat tantangan yang akan dimintanya pada Toakala.
Bissudaeng pun
berkata, “jika demikian bisakah daeng mengabulkan permintaanku sebagai
mahar ke-permaisuri-an ku. “. ” Apa itu Ndi. “, Toakala menyambung
pembicaraan Bissudaeng dengan sigap dan cepat,” Bendung tujuh mata air
di kerajaan Simbang, dan buatkan aku permandian air terjun di Je’ne Taesa “.,
Pinta Bissudaeng terbata-bata, Toakala menimpali dengan tegas” Jangankan air
terjun dinda, istana berlapis emaspun akan aku buatkan“. Merasa dilematis,
Bissudaeng pun berkata “Tapi aku hanya memberi waktu satu malam daeng, kalo
kanda tidak bisa menyelesaikannya dalam satu malam, berarti saya harus kembali
keistana”.
Tanpa bicara Toakala
pun mulai bekerja dengan penuh keyakinan, ia mengerjakan permintaan
Bissudaeng semalam suntuk. Peluh mengalir membasahi tubuh Toakala Sejenak
ketika permandian air terjun tersebut hampir selesai, ayampun berkokok
menandakan fajar akan segera muncul.
Toakala semakin gencar
untuk menyelesaikan pekerjaannya namun, tiba-tiba matahari terbit, langit
menjadi mendung, sebuah gejalah alam yang tak biasa, suara Guntur dan petir
saling menyambar, pertanda sebuah kutukan telah jatuh dari Dewata Seuwwae.
Toakala berteriak
histeris, “Bissudaeng……..,Bissudaeng…….”
Ditatapnya sang kekasih yang terakhir kali, ia tak
berdaya oleh taqdir, disela tenaga yang hampir habis, Toakalapun perlahan
tumbuh bulu-bulu panjang putih yang menutup seluruh tubuhnya, dipaksakannya
panggilan pada kekasihnya yang terakhir kali tapi, Bissudaeng tak lagi bisa
mendengarnya, ia hanya menyambut isyarat suara itu dengan lambaian tangan,
didepan Bissudaeng berdirilah patung seekor kera putih, yang
kakinya basah oleh tangis Bissudaeng yang di tinggalkan, suara suara alam
seakan terhenti tergantikan dengan suara tangis seorang perempuan cantik, “daeng......
(isak tangis Bissu Daeng memenuhi keheningan Alam Benti Merrung. …
…….Selesai ………….
Bende*semacam teropong
Benti Merrung *Bantimurung kini
Boting Langi *penguasa langit
Dewata seuwwae* dewa di langit
Je’ne Tae’sa*tempat yang tak pernah kering/ selalu berair.
Balla Lompoa’*Rumah kerajaan.
1 komentar:
izin yah untuk jadikan cerita ini sebagai referensi cerpen sy,, dijamin tdk copas. terima kasih..
Posting Komentar