Teori Psikoanalisis
Sigmund Freud
1. Teori Kepribadian Psikoanalisis
Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856
dan meninggal di London tahun 1939) memulai karir psikoanalitisnya pada tahun
1896, setelah beberapa tahun Freud buka praktik dokter. Karena setelah beberapa
tahun ia menjadi dokter, Freud tidak pernah merasa puas dengan cara ia
mengobati pasien, Freud berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Freud
berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Jika selama menjadi dokter ia
mencoba melakukan terapi medis, Freud berpikir melakukan semacam upaya
psikoterapeutik untuk sebagian besar pasiennya yang ternyata lebih banyak
mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya sebagai Psikoanalisis. Psikoanalisis
adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud.
Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia.
(Minderop, 2010:10)
Psikoanalisis, mendasarkan pemikirannya
pada proses bawah sadar yang membetuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku
sebagai akibat proses tak sadar. Psikoanalisis tidak bertujuan atau mencari
apapun kecuali penemuan tentang alam bawah sadar dalam kehidupan mental.
(Freud, 2002:424)
1.1. Alam Bawah Sadar
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia
lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconscious
mind) ketimbang alam sadar (conscious
mind). Ia melukiskan bahwa pikiran manusia seperti gunung es yang justru sebagian
terbesarnya ada di bawah permukaan laut yang tidak dapat ditangkap dengan
indera. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan dan
konflik; untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia rapat menyimpannya
di alam bawah sadar.
Freud merasa yakin bahwa perilaku
seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang mencoba memunculkan
diri, dan tingkah laku itu tampil tanpa disadari. (Minderop, 2010: 13)
Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu
aktif, dan selalu siap muncul. Kelihatannya hanya hasrat sadar yang muncul,
tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan hubungan antara hasrat sadar
dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari
alam taksadar yang direpresi selalu aktif dan tidak pernah mati. (Minderop,
2010: 15)
Freud menghubungkan kondisi bawah sadar
dengan gejala-gejala neurosis. Aktivitas bawah sadar tertentu dari suatu gejala
neurosis memiliki makna yang sebenarnya terdapat dalam pikiran. Namun, gejala
neurosis tersebut akan diketahui setelah gejala tersebut muncul ke alam sadar
yang sesungguhnya merupakan gambaran gejala neurosis yang diderita seseorang di
alam bawah sadarnya. (Freud, 2002: 297)
1.2. Teori Mimpi
Mimpi adalah fenomena mental. Dalam
mimpi, fenomena mental adalah ucapan dan perilaku orang yang bermimpi, tapi
mimpi orang tersebut tidak bermakna bagi kita dan kita juga tidak bisa
memahaminya. (Freud, 2002:97)
Namun, dalam kasus mimpi, orang bermimpi
selalu mengatakan dia tidak tahu apa makna mimpinya. Tapi, Freud menyakini
bahwa ada kemungkinan, bahkan cukup besar, bahwa orang yang bermimpi tersebut
me ngetahui apa makna mimpinya, hanya saja dia tidak tahu bahwa dia
mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa. (Freud, 2002:98)
Freud percaya bahwa mimpi dapat
mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan representasi dari
konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari. Demikian hebatnya
derita karena konflik dan ketegangan yang dialami sehingga sulit diredakan
melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan muncul dalam alam mimpi tak
sadar. (Minderop, 2010:17)
Alam mimpi merupakan bagian
ketidaksadaran manusia yang memberikan kebebasan tak terbatas meski simbolisasi
dalam mimpi mendapatkan pertentangan oleh dunia realitas, karena dalam mimpi,
si pemimpi tidak dapat membatasi impian yang akan dimunculkan. Mimpi sebagai
perilaku ketidaksadaran, dalam kesadaran muncul dalam bentuk lamunan. Lamunan
tidak harus selalu tidur karena lamunan bawah sadar juga ada. Lamunan bawah
sadar serupa dengan sumber mimpi dari gejala neurosis. (Freud, 2002:405)
2. Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Tingkah laku menurut Freud, merupakan
hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian (id, ego dan
super-ego). Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor historis
masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan faktor
lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu.
Selanjutnya Freud membahas pembagian
psikisme manusia : id (terletak dibagian
tak sadar) yang merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego (terletak di antara alam sadar dan
tak sadar) yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan
larangan super-ego. Super-ego
(terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar)
bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang
merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua.
Id merupakan energi psikis dan naluri
yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya : makan,
menolak rasa sakit, dll. Menurut Freud, Id berada di alam bawah sadar, tidak
ada kontak dengan realitas. Cara kerja Id berhubungan dengan prinsip
kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari
ketidaknyamanan.
Ego adalah aktualitas kepribadian
seseorang, ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga
serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenagan individu
yang dibatasi oleh realitas. Egolah yang mengatur hubungan timbal balik antara
seseorang dengan dunia. Dalam hal ini Ego berkebalikan dengan Id, jika Id
dikuasai prinsip kesenangan, ego justru dikuasai prinsip kenyataan (reality principle). Namun, ego bukan
hanya mengontrol Id, tetapi juga mengatur
super-ego. Super-ego adalah kekuatan moralitas dalam diri manusia.
Super-ego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk
(conscience). Sebagai contoh ;
misalnya ego seseorang ingin
melakukan hubungan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh
kehadiran anak; tetapi id orang
tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks memang nikmat,
kemudian superego timbul dan
menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks.
(Minderop, 2011: 21-22)
3. Dinamika Kepribadian
3.1. Naluri
Menurut konsep Freud, naluri atau
instink merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi akibat muncul
suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan
(tension reduction). (Minderop, 2010:
24)
3.2. Macam-macam
Naluri
Menurut Freud, naluri yang terdapat
dalam diri manusia bisa dibedakan dalam: eros
atau naluri kehidupan (life instinct)
dan naluri kematian (death instinct).
Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego. Sedangkan naluri kematian adalah
naluri yang mendasari tindakan agresif. (Minderop, 2010: 25)
3.3. Naluri
Kematian dan Keinginan Mati
Freud meyakini bahwa perilaku manusia
dilandasi oleh dua energi mendasar yaitu, pertama, naluri kehidupan (life instinct). Dan kedua, naluri
kematian yang mendasari tindakan agresif. Naluri kematian dapat menjurus pada
tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri (self-destructive
behavior). (Minderop, 2010: 27)
3.4.
Kecemasan (Anxitas)
Situasi apa pun yang mengancam
kenyamanan suatu organisme diasumsikan
melahirkan suatu kondisi yang disebut anxitas. Berbagai konflik dan
bentuk frustasi yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan
merupakan salah satu sumber anxitas. Ancaman dimaksud dapat berupa ancaman
fisik, psikis, dan berbagai tekanan yang mengakibatkan timbulnya anxitas.
Freud percaya bahwa kecemasan sebagai
hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari konflik antara pulsi id
dan pertahanan dari ego dan super-ego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam
individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau
berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat, oleh karena tekanan
tersebut, manusia melakukan manuver melalui mekanisme pertahanan. (Minderop,
2010: 27-28)
4. Mekanisme Pertahanan dan Konflik
Mekanisme pertahanan terjadi karena
adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Freud
menggunakan istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar
seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas.
Dalam teori kepribadian, mekanisme
pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang.
Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi
juga—dalam pengertian penting—dapat memengaruhi perkembangan kepribadian.
Mekanisme pertahanan terdiri atas;
represi (repression), Sublimasi,
proyeksi, Pengalihan (Displacement),
Rasionalisasi (Rationalization),
Reaksi Formasi (Reaction Formation),
Regresi, Agresi dan Apatis, Fantasi dan Stereotype. (Minderop, 2010: 29-31 )
5. Klasifikasi Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan
kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang
membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang
ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Selain itu, kebencian
atau perasaan benci (hate)
berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang
menandai perasaan benci ialah timbunya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan
objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya
perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan
tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu melekat di
dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum
menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas. Perasaan
bersalah dan menyesal, rasa malu serta cinta juga termasuk ke dalam klasifikasi
emosi. (Minderop, 2010: 39)
6. Teori Seksualitas
Di antara beberapa aspek pemikiran
Freud, ia memberi tempat khusus pada masalah seksualitas, dan masalah ini pula
yang banyak menimbulkan kritik dan
penolakan terhadap dirinya. Banyak orang memahami seksualitas berkaitan semata
pada masalah alat-alat reproduksi. Penolakan besar-besaran terhadap Freud
terjadi ketika ia membahas masalah seksualitas pada anak-anak. Orang
berpendapat, mana mungkin anak-anak memiliki pengalaman yang berhubungan dengan
seksualitas. Bagi freud, masalah seksualitas lebih jauh, lebih luas, dan lebih
awal usianya daripada sekedar seksualitas genital.
Freud membedakan tiga periode kehidupan
seksual infantil: pertama periode kegiatan seksual awal, didominasi oleh oto-erotisme, yaitu menemukan kesenangan
melalui daerah erogen. Kedua, periode laten (periode waktu seksualitas masih
tersembunyi) berlangsung sejak anak berusia empat tahun sampai masa pubertas,
dan yang ketiga adalah Periode pubertas adalah masa kepuasan seksual tertambat
pada cara kerja organ genital. (Minderop, 2010: 45)
6.1.
Narsisme
Konsep narsisme pada anak, yakni
menganggap dirinya sebagai objek cinta secara menyeluruh. (Minderop, 2010: 46)
Dengan kata lain, Narsisme sesungguhnya ialah
perilaku seseorang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek yang dicintai
sebagai akibat dari delusi kebesaran yang diakibatkan oleh libido ‘objek
keinginan seksualnya’. Istilah narsisme ini dipinjam dari kondisi yang
digambarkan P.Nacke, yang didalamnya seorang individu dewasa mencurahkan pada
tubuhnya sendiri semua cumbuan yang biasanya hanya dicurahkan pada objek
seksual selain dirinya. (Freud, 2002: 457)
6.2.
Ekshibisionisme
Anak-anak juga mencari objek seksualnya
kepada orang lain dengan cara mengintip atau memperlihatkan (ekshibisionisme). (Minderop, 2010: 47)
Daftar Pustaka :
Freud, Sigmund. General Introduction to Psychoanalysis: Psikoanalisis
Sigmund Freud. diterjemahkan oleh Ira Puspitorini. 2002. Yogyakarta: Ikon
Teralitera.
Minderop,
Dr.Albertine,M.A. Psikologi Sastra: Karya
Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Edisi Pertama. 2010. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar