Sabtu, 31 Maret 2012

Psikoanalisis : Sigmund Freud


Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
1. Teori Kepribadian Psikoanalisis
Freud (lahir di Freiberg pada tahun 1856 dan meninggal di London tahun 1939) memulai karir psikoanalitisnya pada tahun 1896, setelah beberapa tahun Freud buka praktik dokter. Karena setelah beberapa tahun ia menjadi dokter, Freud tidak pernah merasa puas dengan cara ia mengobati pasien, Freud berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Freud berpikir untuk merubah cara pengobatan pasien. Jika selama menjadi dokter ia mencoba melakukan terapi medis, Freud berpikir melakukan semacam upaya psikoterapeutik untuk sebagian besar pasiennya yang ternyata lebih banyak mengalami tekanan jiwa. Terapi itu disebutnya sebagai Psikoanalisis. Psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. (Minderop, 2010:10)
Psikoanalisis, mendasarkan pemikirannya pada proses bawah sadar yang membetuk perilaku dan segala penyimpangan perilaku sebagai akibat proses tak sadar. Psikoanalisis tidak bertujuan atau mencari apapun kecuali penemuan tentang alam bawah sadar dalam kehidupan mental. (Freud, 2002:424)
1.1. Alam Bawah Sadar
Freud menyatakan bahwa pikiran manusia lebih dipengaruhi oleh alam bawah sadar (unconscious mind) ketimbang alam sadar (conscious mind). Ia melukiskan bahwa pikiran manusia seperti gunung es yang justru sebagian terbesarnya ada di bawah permukaan laut yang tidak dapat ditangkap dengan indera. Ia mengatakan kehidupan seseorang dipenuhi oleh berbagai tekanan dan konflik; untuk meredakan tekanan dan konflik tersebut manusia rapat menyimpannya di alam bawah sadar.
Freud merasa yakin bahwa perilaku seseorang kerap dipengaruhi oleh alam bawah sadar yang mencoba memunculkan diri, dan tingkah laku itu tampil tanpa disadari. (Minderop, 2010: 13)
Menurut Freud, hasrat tak sadar selalu aktif, dan selalu siap muncul. Kelihatannya hanya hasrat sadar yang muncul, tetapi melalui suatu analisis ternyata ditemukan hubungan antara hasrat sadar dengan unsur kuat yang datang dari hasrat taksadar. Hasrat yang timbul dari alam taksadar yang direpresi selalu aktif dan tidak pernah mati. (Minderop, 2010: 15)
Freud menghubungkan kondisi bawah sadar dengan gejala-gejala neurosis. Aktivitas bawah sadar tertentu dari suatu gejala neurosis memiliki makna yang sebenarnya terdapat dalam pikiran. Namun, gejala neurosis tersebut akan diketahui setelah gejala tersebut muncul ke alam sadar yang sesungguhnya merupakan gambaran gejala neurosis yang diderita seseorang di alam bawah sadarnya. (Freud, 2002: 297)
1.2. Teori Mimpi
Mimpi adalah fenomena mental. Dalam mimpi, fenomena mental adalah ucapan dan perilaku orang yang bermimpi, tapi mimpi orang tersebut tidak bermakna bagi kita dan kita juga tidak bisa memahaminya. (Freud, 2002:97)
Namun, dalam kasus mimpi, orang bermimpi selalu mengatakan dia tidak tahu apa makna mimpinya. Tapi, Freud menyakini bahwa ada kemungkinan, bahkan cukup besar, bahwa orang yang bermimpi tersebut me ngetahui apa makna mimpinya, hanya saja dia tidak tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa. (Freud, 2002:98)
Freud percaya bahwa mimpi dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari. Demikian hebatnya derita karena konflik dan ketegangan yang dialami sehingga sulit diredakan melalui alam sadar, maka kondisi tersebut akan muncul dalam alam mimpi tak sadar. (Minderop, 2010:17)
Alam mimpi merupakan bagian ketidaksadaran manusia yang memberikan kebebasan tak terbatas meski simbolisasi dalam mimpi mendapatkan pertentangan oleh dunia realitas, karena dalam mimpi, si pemimpi tidak dapat membatasi impian yang akan dimunculkan. Mimpi sebagai perilaku ketidaksadaran, dalam kesadaran muncul dalam bentuk lamunan. Lamunan tidak harus selalu tidur karena lamunan bawah sadar juga ada. Lamunan bawah sadar serupa dengan sumber mimpi dari gejala neurosis. (Freud, 2002:405)

2. Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud
Tingkah laku menurut Freud, merupakan hasil konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian (id, ego dan super-ego). Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian adalah faktor historis masa lampau dan faktor kontemporer, analoginya faktor bawaan dan faktor lingkungan dalam pembentukan kepribadian individu.
Selanjutnya Freud membahas pembagian psikisme manusia : id (terletak dibagian tak sadar) yang merupakan reservoir pulsi dan menjadi sumber energi psikis. Ego (terletak di antara alam sadar dan tak sadar) yang bertugas sebagai penengah yang mendamaikan tuntutan pulsi dan larangan super-ego. Super-ego (terletak sebagian di bagian sadar dan sebagian lagi di bagian taksadar) bertugas mengawasi dan menghalangi pemuasan sempurna pulsi-pulsi tersebut yang merupakan hasil pendidikan dan identifikasi pada orang tua.
Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya : makan, menolak rasa sakit, dll. Menurut Freud, Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja Id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan.
Ego adalah aktualitas kepribadian seseorang, ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenagan individu yang dibatasi oleh realitas. Egolah yang mengatur hubungan timbal balik antara seseorang dengan dunia. Dalam hal ini Ego berkebalikan dengan Id, jika Id dikuasai prinsip kesenangan, ego justru dikuasai prinsip kenyataan (reality principle). Namun, ego bukan hanya mengontrol Id, tetapi juga mengatur  super-ego. Super-ego adalah kekuatan moralitas dalam diri manusia. Super-ego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagai contoh ; misalnya ego seseorang ingin melakukan hubungan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks memang nikmat, kemudian superego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks. (Minderop, 2011: 21-22)

3. Dinamika Kepribadian
3.1. Naluri
Menurut konsep Freud, naluri atau instink merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan (tension reduction). (Minderop, 2010: 24)
3.2. Macam-macam Naluri
Menurut Freud, naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa dibedakan dalam: eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan naluri kematian (death instinct). Naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego. Sedangkan naluri kematian adalah naluri yang mendasari tindakan agresif. (Minderop, 2010: 25)
3.3. Naluri Kematian dan Keinginan Mati
Freud meyakini bahwa perilaku manusia dilandasi oleh dua energi mendasar yaitu, pertama, naluri kehidupan (life instinct). Dan kedua, naluri kematian yang mendasari tindakan agresif. Naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri (self-destructive behavior). (Minderop, 2010: 27)
3.4. Kecemasan (Anxitas)
Situasi apa pun yang mengancam kenyamanan suatu organisme diasumsikan  melahirkan suatu kondisi yang disebut anxitas. Berbagai konflik dan bentuk frustasi yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan merupakan salah satu sumber anxitas. Ancaman dimaksud dapat berupa ancaman fisik, psikis, dan berbagai tekanan yang mengakibatkan timbulnya anxitas.
Freud percaya bahwa kecemasan sebagai hasil dari konflik bawah sadar merupakan akibat dari konflik antara pulsi id dan pertahanan dari ego dan super-ego. Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat, oleh karena tekanan tersebut, manusia melakukan manuver melalui mekanisme pertahanan. (Minderop, 2010: 27-28)

4. Mekanisme Pertahanan dan Konflik
Mekanisme pertahanan terjadi karena adanya dorongan atau perasaan beralih untuk mencari objek pengganti. Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas.
Dalam teori kepribadian, mekanisme pertahanan merupakan karakteristik yang cenderung kuat dalam diri setiap orang. Mekanisme pertahanan ini tidak mencerminkan kepribadian secara umum, tetapi juga—dalam pengertian penting—dapat memengaruhi perkembangan kepribadian.
Mekanisme pertahanan terdiri atas; represi (repression), Sublimasi, proyeksi, Pengalihan (Displacement), Rasionalisasi (Rationalization), Reaksi Formasi (Reaction Formation), Regresi, Agresi dan Apatis, Fantasi dan Stereotype. (Minderop, 2010: 29-31 )

5. Klasifikasi Emosi
Kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan kesedihan kerap kali dianggap sebagai emosi yang paling mendasar (primary emotions). Situasi yang membangkitkan perasaan-perasaan tersebut sangat terkait dengan tindakan yang ditimbulkannya dan mengakibatkan meningkat ketegangan. Selain itu, kebencian atau perasaan benci (hate) berhubungan erat dengan perasaan marah, cemburu, dan iri hati. Ciri khas yang menandai perasaan benci ialah timbunya nafsu atau keinginan untuk menghancurkan objek yang menjadi sasaran kebencian. Perasaan benci bukan sekedar timbulnya perasaan tidak suka atau aversi/enggan yang dampaknya ingin menghindar dan tidak bermaksud menghancurkan. Sebaliknya, perasaan benci selalu melekat di dalam diri seseorang, dan ia tidak akan pernah merasa puas sebelum menghancurkannya; bila objek tersebut hancur ia akan merasa puas. Perasaan bersalah dan menyesal, rasa malu serta cinta juga termasuk ke dalam klasifikasi emosi. (Minderop, 2010: 39)

6. Teori Seksualitas
Di antara beberapa aspek pemikiran Freud, ia memberi tempat khusus pada masalah seksualitas, dan masalah ini pula yang banyak menimbulkan  kritik dan penolakan terhadap dirinya. Banyak orang memahami seksualitas berkaitan semata pada masalah alat-alat reproduksi. Penolakan besar-besaran terhadap Freud terjadi ketika ia membahas masalah seksualitas pada anak-anak. Orang berpendapat, mana mungkin anak-anak memiliki pengalaman yang berhubungan dengan seksualitas. Bagi freud, masalah seksualitas lebih jauh, lebih luas, dan lebih awal usianya daripada sekedar seksualitas genital.
Freud membedakan tiga periode kehidupan seksual infantil: pertama periode kegiatan seksual awal, didominasi oleh oto-erotisme, yaitu menemukan kesenangan melalui daerah erogen. Kedua, periode laten (periode waktu seksualitas masih tersembunyi) berlangsung sejak anak berusia empat tahun sampai masa pubertas, dan yang ketiga adalah Periode pubertas adalah masa kepuasan seksual tertambat pada cara kerja organ genital. (Minderop, 2010: 45)

6.1. Narsisme
Konsep narsisme pada anak, yakni menganggap dirinya sebagai objek cinta secara menyeluruh. (Minderop, 2010: 46)
Dengan kata lain, Narsisme sesungguhnya ialah perilaku seseorang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek yang dicintai sebagai akibat dari delusi kebesaran yang diakibatkan oleh libido ‘objek keinginan seksualnya’. Istilah narsisme ini dipinjam dari kondisi yang digambarkan P.Nacke, yang didalamnya seorang individu dewasa mencurahkan pada tubuhnya sendiri semua cumbuan yang biasanya hanya dicurahkan pada objek seksual selain dirinya. (Freud, 2002: 457)
6.2. Ekshibisionisme
Anak-anak juga mencari objek seksualnya kepada orang lain dengan cara mengintip atau memperlihatkan (ekshibisionisme). (Minderop, 2010: 47)

Daftar Pustaka :
Freud, Sigmund. General Introduction to Psychoanalysis: Psikoanalisis Sigmund Freud. diterjemahkan oleh Ira Puspitorini. 2002. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Minderop, Dr.Albertine,M.A. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Edisi Pertama. 2010. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
 

0 komentar:

Posting Komentar