Kamis, 29 Maret 2012

Pengarang Balai Pustaka


A.    Pengarang Balai Pustaka
1.      Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Kecuali menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antaranya Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara sudah berkata....(1932). Ia memang banyak menaruh minat kepada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginya sejarah diabadikan kepada usaha mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang roman dan dengan bahasa yang liris maka ia pun menulis tentang Gajah Mada (1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia pun banyak pula menerjemahkan sastar asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain buah tangan pengarang Inggris William Shakespeare (1564-1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari pengarang India Rabindranath Tagore (1861-1941) berjudul Menantikan Surat Dari Raja dan Di Dalam Dan Diluar Lingkungan Rumah Tangga.  

2.      Roestam Effendi
Penyair sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (lahir 1902). Seperti juga dengan Yamin, Roestam setelah dewasa dan matang terutama bergerak di bidang politik, menjadi politikus, dan tak pernah menulis karya sastra lagi.
Roestam menulis dua buku. Yang pertama berjudul Bebasari (1924) dan yang kedua berjudul Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak, di dalamnya dikisahkan tentang perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Sebagai drama, Bebasari ini barangkali kurang menarik dan sulit dimainkan di panggung. Tetapi mungkin memang bukan itu maksud pengarangnya. Bahwa drama ini merupakan sebuah perlambangan atau simbolik dari cita-cita pengarangnya, agaknya jelas dari judulnya yang mengadung perkataan bebas. Kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda dari terungku jahanam itu mudah diterka sebagai lambang tanah air yang sedang berada dalam cengkraman penjajah. Karena itu, tidak usah heran kalau buku ini segera dilarang beredar oleh pemerintah jajahan Belanda. Dari segi sastra Indonesia buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.

3.      Sanusi Pane
Sanusi Pane (1905-1968) mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam majalah-majalah, baik di Jakarta maupun di padang. Bukunya yang pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul Pancaran Cinta (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927). Sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamin ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan dua bait terakhir (sextet) tiga seuntai. Yang empat seuntai biasanya digunakan penyairnya untuk melukiskan suasana (keindahan) alam (lahir) dan yang tiga seuntai digunakan untuk mengajuk hatinya sendiri, sehingga keseluruhan sonata itu tak ubahnya dengan pantun yang terdiri dari sampiran dan isi. Seperti diketahui pantun umumnya terdiri dari 4 baris: dua baris pertama merupakan sampiran yang biasanya berupa lukisan-lukisan alam dan dua baris terakhir berupa isi.
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya. Kisah pengalamannya selama mencari bahagia dan ketenangan batin dimuat dalam kumpulan sajak Madah Kelana itu: sajak-sajak yang dimuat didalamnya banyak yang ditulis ketika ia melawat ke India. Sanusi Pane menganggap dirinya sebagai seorang kelana yang berjalan ke mana-mana mencari kebahagiaan dan kemudian sadar bahwa kebahagiaan itu didapatnya dalam hatinya sendiri. Agaknya ia pernah patah hati dalam bercinta. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Puspa Mega banyak meratapi cintanya itu. Kekecewaan itu menyebabkan ia tak jemu-jemunya mencari kedamaian, ketenangan hidup dan tempat bahagia. Ia tak henti-hentinya mencaricinta dan sayang.
Dari sajak-sajaknya tampak bahwa Sanisi pane menaruh banyak perhatian kepada sejarah, misalnya dalam sajak yang berjudul Candi Mendut. Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama-drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah jawa. Dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhyakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940) merupakan satu-satunya dramanya yang mengambil masyarakat modern sebagai tempat berlakunya cerita. Tetapi itu pun tidak terjadi di Indonesia, melainkan di India. 

4.      Merari Siregar
Di bidang roman, buah tangan Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara adalah merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuia dengan zaman modern. Roman ini adalah roman pertama tentang kawin paksa yang kemudian untuk kurang lebih dua puluh tahun lamanya menjadi tema yang paling digemari dan paling banyak dikemukakan dalam roman-roman Indonesia.
Dalam Azab dan Sengsara diceritakan nasib buruk seorang gadis bernama Mariamin yang tak berkesampaian kawin dengan lelaki yang dicintainya, karena orangtua kekasihnya tidak setuju. Aminuddin yang juga saudara sepupu Mariamin dilarang orangtuanyamengawini Mariamin karena dia miskin. Sebenarnya orangtua Mariamin dahulu kaya, tetapi karena keserakahan ayahnya, Datuk Barangin, mereka jatuh melarat. Ketika Datuk Baringin meninggal, ia meninggalkan anak-istrinya dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Setelah kawin dengan seseorang bernama Kasibun yang ternyata sudah beristri dan berpenyakit kotor pula, akhirnya Mariamin meninggal dalam kesengsaraan.

5.      M.Kasim
Demikian juga dengan Muda Teruna buah tangan M.Kasim (lahir tahun 1886) yang terbit 1922, banyak sekali persamaannya dengan hikayat-hikayat lama, terutama dalam komposisinya. Untunglah disana-sini M.Kasim membersit dengan humornya. Dalam buku ini dikisahkan tentang seorang pemuda bernama Marah Kamil yang tergila-gila kepada seorang gadis bernama Ani. Sebelum terjadi perkawinan, Marah Kamil mengalamii dahulu berbagai petualangan dalam pengembaraan ke berbagai tempat di Sumatera, hal ini mengingatkan kita akan cerita-cerita hikayat yang juga biasanya terlebih dahulu mengisahkan tokoh-tokoh utamanya mengalami berbagai petualangan sebelum pada akhirnya berbahagia dengan kekasih idaman hatinya.
 
6.      Marah Rusli
Lebih berhasil ialah roman buah tangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya yang juga terbit tahun 1922. Cerita ini merupakan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno berkenaan dengan perkawinan. Tokoh utama cerita ini Siti Nurbaya sudah bertukar kasih dengan Samsul Bahri, kawannya sekolah yang kemudian melanjutkan pelajaran ke Betawi. Untuk mengongkosi Samsul Bahri sekolah ke Betawi itu, orangtuanya, Sutan Mahmud meminjam uang kepada Datuk Maringgih, seorang saudagar yang kaya betul di Padang. Sementara itu orangtua Samsul Bahri terlibat dalam kesukaran keuangan pula, yaitu harus membiayai pernikahan kemenakannya perempuan yang menurut adat Minangkabau menjadi tanggung jawab mamandanya. Dengan akal busuk dan jahat Datuk Maringgih pun menghancurkan kekayaan orangtua Siti Nurbaya, sehingga Baginda Suleman (orangtua Siti Nutbaya) terpaksa meminjam uang kepadanya. Ketika Baginda Sulaeman tidak berhasil melunasi utangnya pada waktu yang dijanjikan, Datuk Maringgih mengancam akan memenjarakannya atau memberikan Siti Nurbaya untuk dia peristri, karena terpaksa maka akhirnya Siti Nurbaya menikah dengan Datuk Maringgih. Tetapi ketika Baginda Sulaeman meninggal, Siti Nurbaya menyatakan dirinya bebas dari cengkraman Datuk Maringgih. Akhirnya Siti Nurbaya meninggal diracun oleh orang upahan Datuk Maringgih. Dan Datuk Maringgih pun mati pula dibunuh oleh Letnan Mas, yaitu Samsul Bahri yang selama itu telah masuk kompeni. Tetapi dalam pertempuran itu, Samsul Bahri mendapat luka-luka berat sehingga akhirnya meninggal juga.
Meskipun pada akhirnya semua orang mati, baik tokoh-tokoh kolot maupun tokoh-tokoh kaum muda. Namun, dalam roman ini, Marah Rusli lebih jauh bertindak daripada Merari Siregar. Kritiknya lebih langsung menyoroti kebobrokan-kebobrokan masyarakatnya.

7.      Jamaluddin Adinegoro
Pengarang lain yang melangkah lebih jauh dalam menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinegoro, nama samaran Djamaluddin (1904-1966). Ia menulis dua buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Dalam kedua roman itu, tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu. Nurdin seorang Minangkabau dalam Darah Muda bahkan menikah dengan Rukmini seorang gadis pilihan hatinya sendiri. Pernikahan seperti itu belum pernah dikemukakan dalam roman Indonesia sebelumnya. Dan dalam roman Asmara Jaya pernikahan antara suku yang berdasarkan cinta bahkan dapat pula menginsyafkan kekerasan hati dan kesempitan pandangan kaum tua: akhirnya orang tua pemuda Rustam membenarkan tindakan anaknya yang berani kawin dengan seorang gadis sunda.

8.      Abdul Muis
Roman penting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan Abdul Muis (1886-1959). Dalam roman itu pengarangnya lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan sejak Indische Partij (tahun belasan) itu ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya, melalui pendidikan sekolah colonial Belanda. Hanafi, tokoh utamanya, ialah seorang pemuda Minangkabau yang karena pendidikannya merasa martabatnya lebih tinggi daripada bangsanya sendiri, mengikuti nafsu dan cintanya kawin dengan Corrie, seorang gadis Indo, sampai ia menyia-nyiakan istri dan ibunya sendiri. Tetapi dalam perkawinan dengan Corrie itu ia tidak menemukan kebahagiaan seperti yang diangan-angankannya.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syariat Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Belanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup ditanah Pariangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933) juga sebuah roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang ia menulis roman berdasarkan sejarah yakni Suropati (1950) dan Robert Anak Suropati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melwan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.

9.      Aman Datuk Madjoindo
Aman Datuk Madjoindo lahir di Solok, Sumatera Barat, 1896. Meninggal di Jakarta, 16 September 1969. Aman menulis roman Si Doel Anak Betawi (1956), difilmkan oleh Syumanjaya tahun 1972 dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Karya-karyanya yang lain antara lain, novel Menebus Dosa (1932), Sampaikan Salamku Padanya (1935), Hikayat Si Miskin (1958), Cindur Mata (1951), Sejarah Melayu (1959).

1Tulis Sutan Sati
Tulis Sutan Sati lahir di Bukit Tinggi, 1889, meninggal di Jakarta 1942. Beliau menceritakan kembali Sabai Nan Aluih (1929), dan menulis roman Sengsara Menbawa Nikmat (1928), dan Memutuskan Pertalian (1932). Karya-karyanya yang lain: Novel Tak Disangka (1929), Tidak Membalas Guna (1933), Syair Siti Murhumah Yang Saleh (1930).

1Nur Sutan Iskandar
Nur Sutan Iskandarkan di Sungai Batang Maninjau, Sumatera Barat, 3 November 1893. Meninggal di Jakarta, 28 November 1975. Di samping pengarang, juga redaktur Balai Pustaka dan penerjamah. Buku-buku yang ditulisnya antara lain:
a.       Karena Mentua (roman adat, 1932)
b.      Katak Hendak Jadi Lembu (roman simbolik, 1934)
c.       Hulubalang Raja (roman sejarah, 1934)
d.      Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (roman social, 1922)
e.       Neraka Dunia (roman social, 1937)
f.       Salah Pilih (roman adat, 1928)
g.      Mutiara (novel, 1946)
h.      Jangir Bali (novel, 1946)
i.        Ujian Masa (1932)
Bersama pengarang-pengarang lain Nur Sutan Iskandar menulis roman:
a.       Tuba Dibalas dengan Air Susu (bersama Asmaradewi, 1933)
b.      Dewi Rimba (bersama M.Dahlan, 1935)
c.       Cinta Dan Kewajiban (bersama L.Wairata, 1944)
Sebagai penerjamah, Nur Sutan Iskandar meluncurkan buku:
a.      Abu Nawas
b.      Belut Kena Ranjau (karya Baronese Orczy, 1928)
c.       Tiga Panglima Perang (karya Alexander Dumas, 1925)
d.      Gudang Intan Nabi sulaiman (karya Rider Hanggrod)
Lantaran produktivitasnya yang sangat tinggi, untuk ukuran masa itu, Nur sutan Iskandar di beri julukan “Raja Pengarang Angkatan Balai Pustaka”.

0 komentar:

Posting Komentar