A.
Pengarang
Balai Pustaka
1. Muhammad
Yamin
Muhammad
Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di
Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Kecuali menulis sajak, ia pun banyak menulis
drama yang berlatar belakang sejarah, antaranya Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
dan Kalau Dewi Tara sudah berkata....(1932). Ia memang banyak menaruh minat
kepada sejarah, terutama sejarah nasional. Baginya sejarah diabadikan kepada
usaha mewujudkan cita-cita Indonesia Raya. Dengan fantasi seorang pengarang
roman dan dengan bahasa yang liris maka ia pun menulis tentang Gajah Mada
(1946) dan Pangeran Diponegoro (1950). Ia pun banyak pula menerjemahkan sastar
asing ke dalam bahasa Indonesia, antara lain buah tangan pengarang Inggris
William Shakespeare (1564-1616) berjudul Julius Caesar (1952) dan dari
pengarang India Rabindranath Tagore (1861-1941) berjudul Menantikan Surat Dari
Raja dan Di Dalam Dan Diluar Lingkungan Rumah Tangga.
2. Roestam
Effendi
Penyair
sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna
kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (lahir 1902). Seperti juga dengan
Yamin, Roestam setelah dewasa dan matang terutama bergerak di bidang politik,
menjadi politikus, dan tak pernah menulis karya sastra lagi.
Roestam
menulis dua buku. Yang pertama berjudul Bebasari (1924) dan yang kedua berjudul
Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak, di dalamnya
dikisahkan tentang perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari
cengkraman keserakahan raksasa. Sebagai drama, Bebasari ini barangkali kurang
menarik dan sulit dimainkan di panggung. Tetapi mungkin memang bukan itu maksud
pengarangnya. Bahwa drama ini merupakan sebuah perlambangan atau simbolik dari
cita-cita pengarangnya, agaknya jelas dari judulnya yang mengadung perkataan
bebas. Kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda dari terungku jahanam itu mudah
diterka sebagai lambang tanah air yang sedang berada dalam cengkraman penjajah.
Karena itu, tidak usah heran kalau buku ini segera dilarang beredar oleh
pemerintah jajahan Belanda. Dari segi sastra Indonesia buku ini penting karena
merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
sajak.
Bukunya
yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak
yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang
dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat
mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
3. Sanusi
Pane
Sanusi
Pane (1905-1968) mula-mula menulis sajak-sajak yang dimuat dalam
majalah-majalah, baik di Jakarta maupun di padang. Bukunya yang pertama berupa
kumpulan prosa lirik berjudul Pancaran Cinta (1926), kemudian disusul oleh
kumpulan sajak Puspa Mega (1927). Sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir
seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan
oleh Muhammad Yamin ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta
terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat
seuntai dan dua bait terakhir (sextet) tiga seuntai. Yang empat seuntai
biasanya digunakan penyairnya untuk melukiskan suasana (keindahan) alam (lahir)
dan yang tiga seuntai digunakan untuk mengajuk hatinya sendiri, sehingga
keseluruhan sonata itu tak ubahnya dengan pantun yang terdiri dari sampiran dan
isi. Seperti diketahui pantun umumnya terdiri dari 4 baris: dua baris pertama merupakan
sampiran yang biasanya berupa lukisan-lukisan alam dan dua baris terakhir
berupa isi.
Pada
tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang
sangat dikaguminya. Kisah pengalamannya selama mencari bahagia dan ketenangan
batin dimuat dalam kumpulan sajak Madah Kelana itu: sajak-sajak yang dimuat
didalamnya banyak yang ditulis ketika ia melawat ke India. Sanusi Pane
menganggap dirinya sebagai seorang kelana yang berjalan ke mana-mana mencari
kebahagiaan dan kemudian sadar bahwa kebahagiaan itu didapatnya dalam hatinya
sendiri. Agaknya ia pernah patah hati dalam bercinta. Sajak-sajaknya yang
dimuat dalam Puspa Mega banyak meratapi cintanya itu. Kekecewaan itu
menyebabkan ia tak jemu-jemunya mencari kedamaian, ketenangan hidup dan tempat
bahagia. Ia tak henti-hentinya mencaricinta dan sayang.
Dari
sajak-sajaknya tampak bahwa Sanisi pane menaruh banyak perhatian kepada
sejarah, misalnya dalam sajak yang berjudul Candi
Mendut. Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama-drama
yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan
sejarah jawa. Dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu
Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam bahasa
Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhyakala ning Majapahit (1933). Drama
yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940) merupakan satu-satunya
dramanya yang mengambil masyarakat modern sebagai tempat berlakunya cerita.
Tetapi itu pun tidak terjadi di Indonesia, melainkan di India.
4. Merari
Siregar
Di
bidang roman, buah tangan Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara adalah merupakan kritik tak langsung kepada
berbagai adat dan kebiasaan buruk kuno yang tidak lagi sesuia dengan zaman
modern. Roman ini adalah roman pertama tentang kawin paksa yang kemudian untuk
kurang lebih dua puluh tahun lamanya menjadi tema yang paling digemari dan
paling banyak dikemukakan dalam roman-roman Indonesia.
Dalam
Azab dan Sengsara diceritakan nasib
buruk seorang gadis bernama Mariamin yang tak berkesampaian kawin dengan lelaki
yang dicintainya, karena orangtua kekasihnya tidak setuju. Aminuddin yang juga
saudara sepupu Mariamin dilarang orangtuanyamengawini Mariamin karena dia
miskin. Sebenarnya orangtua Mariamin dahulu kaya, tetapi karena keserakahan
ayahnya, Datuk Barangin, mereka jatuh melarat. Ketika Datuk Baringin meninggal,
ia meninggalkan anak-istrinya dalam kesengsaraan dan kemiskinan. Setelah kawin
dengan seseorang bernama Kasibun yang ternyata sudah beristri dan berpenyakit
kotor pula, akhirnya Mariamin meninggal dalam kesengsaraan.
5. M.Kasim
Demikian
juga dengan Muda Teruna buah tangan M.Kasim (lahir tahun 1886) yang terbit
1922, banyak sekali persamaannya dengan hikayat-hikayat lama, terutama dalam
komposisinya. Untunglah disana-sini M.Kasim membersit dengan humornya. Dalam
buku ini dikisahkan tentang seorang pemuda bernama Marah Kamil yang
tergila-gila kepada seorang gadis bernama Ani. Sebelum terjadi perkawinan,
Marah Kamil mengalamii dahulu berbagai petualangan dalam pengembaraan ke
berbagai tempat di Sumatera, hal ini mengingatkan kita akan cerita-cerita
hikayat yang juga biasanya terlebih dahulu mengisahkan tokoh-tokoh utamanya
mengalami berbagai petualangan sebelum pada akhirnya berbahagia dengan kekasih
idaman hatinya.
6. Marah
Rusli
Lebih
berhasil ialah roman buah tangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya yang juga terbit tahun 1922. Cerita ini merupakan
kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno berkenaan dengan perkawinan. Tokoh
utama cerita ini Siti Nurbaya sudah bertukar kasih dengan Samsul Bahri,
kawannya sekolah yang kemudian melanjutkan pelajaran ke Betawi. Untuk
mengongkosi Samsul Bahri sekolah ke Betawi itu, orangtuanya, Sutan Mahmud
meminjam uang kepada Datuk Maringgih, seorang saudagar yang kaya betul di
Padang. Sementara itu orangtua Samsul Bahri terlibat dalam kesukaran keuangan
pula, yaitu harus membiayai pernikahan kemenakannya perempuan yang menurut adat
Minangkabau menjadi tanggung jawab mamandanya. Dengan akal busuk dan jahat
Datuk Maringgih pun menghancurkan kekayaan orangtua Siti Nurbaya, sehingga
Baginda Suleman (orangtua Siti Nutbaya) terpaksa meminjam uang kepadanya.
Ketika Baginda Sulaeman tidak berhasil melunasi utangnya pada waktu yang
dijanjikan, Datuk Maringgih mengancam akan memenjarakannya atau memberikan Siti
Nurbaya untuk dia peristri, karena terpaksa maka akhirnya Siti Nurbaya menikah
dengan Datuk Maringgih. Tetapi ketika Baginda Sulaeman meninggal, Siti Nurbaya
menyatakan dirinya bebas dari cengkraman Datuk Maringgih. Akhirnya Siti Nurbaya
meninggal diracun oleh orang upahan Datuk Maringgih. Dan Datuk Maringgih pun
mati pula dibunuh oleh Letnan Mas, yaitu Samsul Bahri yang selama itu telah
masuk kompeni. Tetapi dalam pertempuran itu, Samsul Bahri mendapat luka-luka
berat sehingga akhirnya meninggal juga.
Meskipun
pada akhirnya semua orang mati, baik tokoh-tokoh kolot maupun tokoh-tokoh kaum
muda. Namun, dalam roman ini, Marah Rusli lebih jauh bertindak daripada Merari
Siregar. Kritiknya lebih langsung menyoroti kebobrokan-kebobrokan
masyarakatnya.
7. Jamaluddin
Adinegoro
Pengarang
lain yang melangkah lebih jauh dalam menentang adat kuno mengenai perkawinan
dalam roman-romannya ialah Adinegoro, nama samaran Djamaluddin (1904-1966). Ia
menulis dua buah roman berjudul Darah
Muda (1927) dan Asmara Jaya
(1928). Dalam kedua roman itu, tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno
dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Nurdin seorang Minangkabau dalam Darah Muda bahkan menikah dengan Rukmini
seorang gadis pilihan hatinya sendiri. Pernikahan seperti itu belum pernah
dikemukakan dalam roman Indonesia sebelumnya. Dan dalam roman Asmara Jaya pernikahan antara suku yang
berdasarkan cinta bahkan dapat pula menginsyafkan kekerasan hati dan kesempitan
pandangan kaum tua: akhirnya orang tua pemuda Rustam membenarkan tindakan
anaknya yang berani kawin dengan seorang gadis sunda.
8. Abdul
Muis
Roman
penting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan Abdul
Muis (1886-1959). Dalam roman itu pengarangnya lebih realistis. Yang menjadi
perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan
kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok
putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan
keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah
bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan sejak Indische Partij
(tahun belasan) itu ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan
Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya, melalui pendidikan sekolah
colonial Belanda. Hanafi, tokoh utamanya, ialah seorang pemuda Minangkabau yang
karena pendidikannya merasa martabatnya lebih tinggi daripada bangsanya
sendiri, mengikuti nafsu dan cintanya kawin dengan Corrie, seorang gadis Indo,
sampai ia menyia-nyiakan istri dan ibunya sendiri. Tetapi dalam perkawinan
dengan Corrie itu ia tidak menemukan kebahagiaan seperti yang diangan-angankannya.
Abdul
Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syariat Islam pernah mendapat hukuman
dari pemerintah jajahan Belanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau
untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup ditanah
Pariangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah
Asuhan, ia pun menulis Pertemuan
Jodoh (1933) juga sebuah roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis
perang ia menulis roman berdasarkan sejarah yakni Suropati (1950) dan Robert
Anak Suropati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melwan
penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi
Salah Asuhan nilainya.
9. Aman
Datuk Madjoindo
Aman
Datuk Madjoindo lahir di Solok, Sumatera Barat, 1896. Meninggal di Jakarta, 16
September 1969. Aman menulis roman Si
Doel Anak Betawi (1956), difilmkan oleh Syumanjaya tahun 1972 dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934).
Karya-karyanya yang lain antara lain, novel Menebus
Dosa (1932), Sampaikan Salamku
Padanya (1935), Hikayat Si Miskin
(1958), Cindur Mata (1951), Sejarah Melayu (1959).
1Tulis
Sutan Sati
Tulis
Sutan Sati lahir di Bukit Tinggi, 1889, meninggal di Jakarta 1942. Beliau
menceritakan kembali Sabai Nan Aluih
(1929), dan menulis roman Sengsara
Menbawa Nikmat (1928), dan Memutuskan
Pertalian (1932). Karya-karyanya yang lain: Novel Tak Disangka (1929), Tidak
Membalas Guna (1933), Syair Siti
Murhumah Yang Saleh (1930).
1Nur
Sutan Iskandar
Nur
Sutan Iskandarkan di Sungai Batang Maninjau, Sumatera Barat, 3 November 1893.
Meninggal di Jakarta, 28 November 1975. Di samping pengarang, juga redaktur
Balai Pustaka dan penerjamah. Buku-buku yang ditulisnya antara lain:
a. Karena Mentua
(roman adat, 1932)
b. Katak Hendak Jadi Lembu
(roman simbolik, 1934)
c. Hulubalang Raja
(roman sejarah, 1934)
d. Apa Dayaku Karena Aku
Perempuan (roman social, 1922)
e. Neraka Dunia
(roman social, 1937)
f. Salah Pilih
(roman adat, 1928)
g. Mutiara
(novel, 1946)
h. Jangir Bali
(novel, 1946)
i.
Ujian
Masa (1932)
Bersama pengarang-pengarang lain
Nur Sutan Iskandar menulis roman:
a. Tuba Dibalas dengan Air
Susu (bersama Asmaradewi, 1933)
b. Dewi Rimba
(bersama M.Dahlan, 1935)
c. Cinta Dan Kewajiban
(bersama L.Wairata, 1944)
Sebagai
penerjamah, Nur Sutan Iskandar meluncurkan buku:
a.
Abu
Nawas
b. Belut Kena Ranjau
(karya Baronese Orczy, 1928)
c. Tiga Panglima Perang
(karya Alexander Dumas, 1925)
d. Gudang Intan Nabi
sulaiman (karya Rider Hanggrod)
Lantaran
produktivitasnya yang sangat tinggi, untuk ukuran masa itu, Nur sutan Iskandar
di beri julukan “Raja Pengarang Angkatan Balai Pustaka”.
0 komentar:
Posting Komentar