Jumat, 30 Maret 2012

Pangngulu Lading


Pangngulu Lading
DAHULU, di tanah Bonto Sabu, tinggallah seorang raja bernama La ceddi dan permaisurinya bernama Ji Tanga Bannua. Raja ji Tanga Bannua diangkat memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Beliau dicintai dan ditaati seluruh rakyat, karena budi pekertinya yang baik dan terpuji.
Raja memiliki tujuh putri yang cantik, tetapi beliau belum mempunyai putra yang akan menggantikannya kelak. Dari ketujuh putri itu yang tercantik adalah Putri Bungsu. Selain cantik, budi pekertinya juga baik. Keenam kakaknya memunyai sifat yang berbeda. Mereka memunyai kebiasaan yang buruk, tinggi hati, dan congkak. Perkataan mereka kasar sehingga menyakitkan orang yang mendengar.
Tidak mengherankan jika Putri Bungsu menjadi kesayangan ayah dan bundanya, bahkan menjadi pujaan seluruh rakyat di kerajaan itu. Sebagai putri seorang raja, jelas Putri Bungsu mempunyai dayang serta inang pengasuh, walaupun demikian ia tetap senang bekerja, terutama memasak di dapur.
Pada suatu hari, kepala pisau kesayangan Putri Bungsu pecah. Ia sangat sedih dan memohon ayahanda agar dibuatkan kepala pisau yang baru.
Raja langsung memerintahkan semua ahli pahat dan ahli ukir untuk membuat ulu lading/kepala pisau, berselang beberapa saat para ahli (pakkebbu ulu lading) massing-masing mempersembahkan hasil ulu lading buaatannya, tetapi belum satu pun berkenan di hati Putri Bungsu.
Di ujung kampung kerajaan Raja ji Tanga diangkat, tinggallah seorang pemuda miskin bernama Si Manniki. Pekerjaannya adalah menjual kayu bakar, mengambil upah menumbuk padi atau menyiangi kebun. Si Manniki hidup sebatang kara. Ia dikenal penduduk sebagai pemuda yang jujur dan rendah hati.
Pada suatu hari, Si Manniki berjalan melewati istana. Ketika raja melihatnya, beliau memerintahkan pengawal agar menyuruh Si Manniki singgah. Setelah Si Maniki berhadapan dengan raja, bertanyalah raja, "Hai anak muda, siapakah namamu dan hendak ke manakah engkau?"
"Hamba bernama Si Manniki. Hamba hendak pergi ke ujung kampung untuk mengambil upah menumbuk padi," sahut Si Manniki dengan penuh hormat.
Kemudian raja memerintahkan Si Manniki membuat kepala pisau untuk Putri Bungsu. Si Maniki menyanggupi perintah raja. Ia membuat kepala pisau dengan sungguh-sungguh. Setelah selesai, kepala pisau itu diperlihatkan kepada Putri Bungsu. Ketika Putri Bungsu melihat benda itu, alangkah gembira hatinya. Ia mau menerima kepala pisau itu. Sungguh mengherankan, mengapa justru pisau sederhana seperti itu berkenan di hati Putri Bungsu. Si Maniki pun mendapat hadiah besar dari raja. Ia menerima hadiah itu dengan suka cita.
Kepala pisau itu sangat disayang putri bungsu. Ia selalu membawa benda itu ke mana saja. Sampai-sampai pada waktu tidur sekalipun benda itu dibawanya. Demikianlah, waktu berjalan terus. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah beberapa bulan, terjadi suatu keajiban pada Putri Bungsu.
Putri Bungsu hamil tanpa nikah. Raja tentu sangat malu. Beliau percaya tidak percaya putri kesayangannya telah melakukan perbuatan zina.
Raja dan permaisuri bertanya kepada putri bungsu, siapakah yang telah berani menghamili putrinya. Putri Bungsu tidak dapat memberikan jawaban dan keterangan lain, karena ia memang tidak pernah melakukan hubungan dengan laki-laki. Ia didesak terus, tetapi ia hanya bisa menangis.
Keenam saudaranya yang sejak dulu telah membencinya mengatakan Putri Bungsu telah membuat cemar nama raja. Mereka juga menyesali orang tua mereka yang selama ini sangat memanjakan Putri Bungsu. Putri Bungsu hanya bisa berdoa dan memohon agar mendapat pertolongan Tuhan. Akhirnya, Putri Bungsu melahirkan seorang putra yang sehat dan tampan. Bayi itu dipeliharannya dengan penuh kasih sayang.
Raja Ji Tanga menerima kenyataan ini dengan tabah dan segera mencari penyelesaian. Atas nasihat dukun kepercayaan beliau, semua laki-laki yang ada di negeri itu dikumpulkan. Setelah mereka berkumpul, masing-masing diberi sebiji pisang masak.
Menurut dukun, jika di antara mereka yang memegang pisang itu terdapat ayah bayi tersebut, bayi itu akan merangkak mendatanginya. Ternyata, tidak seorang pun di antara para hadirin didatangi bayi itu.
Raja memerintahkan para pegawal untuk menyelidiki lagi jika masih ada laki-laki yang belum diundang ke istana. Setelah diteliti, ternyata semua laki-laki telah dipanggil, kecuali seorang pemuda miskin di ujung kampung, yaitu Si Manniki. Raja memerintahkan para pengawal untuk membawa Manniki menghadap.
Si Maniki pun menghadap. Ia diberi sebiji pisang masak. Begitu pisang dipegang, si bayi merangkak mendatangi Si Manniki dan naik ke atas pangkuannya. Para hadirin tercengang dan tidak percaya bahwa pemuda miskin itulah ayah si bayi. Tidak ada pilihan lain bagi raja, kecuali menyerahkan Putri Bungsu dan bayinya kepada Si Maniki. Putri Bungsu dan Si Maniki menerima titah raja. Mereka pun meninggalkan istana.
Si Manniki tetap giat bekerja dengan jujur dan selalu menyerahkan diri kepada Dewwata Seuwae. Dari persahabatannya dengan angin puyuh, kera, dan burung bangau, Si Manniki mendapat emas dan perak. Ia mempersembahkan emas dan perak itu kepada raja serta membuat istana dari emas dan perak. Karena suka cita, raja menikahkan Si Maniki dan Putri Bungsu.
Si Maniki juga diangkat menjadi raja, karena Raja Ji Tanga sudah tua. Raja Si Manniki memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga seluruh rakyat taat dan menyayanginya.

(Cerita Rakyat dari Maros)

0 komentar:

Posting Komentar