Kamis, 29 Maret 2012

Hilemorfisme-Universalia : Antara Bentuk dan Materi


Hilemorfisme-Universalia : Antara Bentuk dan Materi
Konsep pemikiran yang berkisar pada teori tentang bentuk dan materi, sebagaimana yang dicetuskan oleh Aristoteles kembali menjadi persoalan mendasar dalam abad ke-12 dan 13 di Eropa Barat. Relasi antara Eropa Barat dengan peradaban Yunani dan Arab kemudian secara langsung membawa pengaruh pemikiran Aristoteles ke Eropa Barat. Persoalan polemik utama pada abad ini berkisar pada konsep universalia atau pengertian tentang yang umum dari realitas yang dilihat dari perspektif akal dan iman.
Pengaruh pemikiran teologis Islam di Arab, terutama dari Spanyol yang menyentuh persoalan tentang Tuhan menjadi arah utama di Eropa Barat. Sebagaimana pemikiran teologis Islam, pemikiran Eropa Barat juga mencoba membangun keterangan-keterangan baru tentang teologi kristen melalui pemikiran Aristoteles maupun Neoplatonisme. Terdapat dua Tokoh utama dalam abad ini yaitu Alberthus Agung (1206-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).

A.     Albertus Agung : Nisbah antara Filsafat dan Teologia

Albertus Agung lahir di Lauingen, daerah wilayah Jerman. Ia menempuh studi di Koln dan Padus, sebelum menjadi dosen di Jerman dan di Paris Prancis. Albertus kemudian menjadi pemimpin ordo Dominikan yang merupakan salah satu ordo yang sangat memperhatikan perkembangan persoalan-persoalan ilmu pengetahuan, sebelum akhirnya diangkat menjadi uskup. Albertus mempelajari pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme secara langsung maupun melalui keterangan-keterangan dari karya-karya pemikir Islam yang terlebih dahulu tersentuh oleh pemikiran Yunani.
Alberthus melakukan perbedaan-perbedaan antara filsafat dengan teologia. Menurutnya dasar hakiki teologia adalah keyakinan iman, sedangkan filsafat adalah pengetahuan yang bersifat akali. Iman menurut Alberthus berbeda dengan pengetahuan, pada pengetahuan kebenaran tentang suatu hal dapat diterima karena kejelasan hal tersebut dapat diterima secara akali, bukti-buktinya dapat dipahami oleh akal. Tetapi pada Iman tidak ada kejelasan-kejelasan yang dapat diterima secara akali, sebab kebenaran iman bukanlah karena kejelasan dari kebenaran iman itu, untuk itu tidak dapat dibuktikan, dan lebih didasarkan pada perasaan.
Teologia dan filsafat mempunyai sasaran metodologis yang berbeda, bila teologia bersandarkan pada hal-hal yang bersifat metafisika atau adikodrati yang melampaui dari batas-batas alamiah yang dapat dipahami oleh manusia, maka sebaliknya filsafat justru mendasarkan diri pada sasaran alamiah yang bekerja berdasarkan pada akal dan membangun suatu pengetahuan yang bersifat umum, yaitu dapat diterima oleh semua orang.
Konsep hilemorfisme Alberthus, terkait dengan asumsinya tentang penciptaan Tuhan, menurutnya hal yang pertama-tama diciptakan Tuhan adalah materi (hyle) yaitu materi prima yang adanya murni potensial yang menjadi dasar dari segala bentuk (morphe). Berdasarkan asumsi materi dan bentuk itulah, Alberthus menanggapi persoalan universali atau tentang pengertian yang umum. Menurutnya universalia (pengertian umum) hanya berada sebagai sebuah bentuk-bentuk, untuk itu ia membagi tiga macam cara bentuk berada secara umum. Pertama, universalia ante rem, yaitu universalia atau pengertian umum yang berada sebelum berubah wujud menjadi sebuah benda. Universalia ini merupakan bentuk-bentuk yang terdapat dalam akal Tuhan, berupa ide-ide dasar dari segala yang kemudian ada dalam realitas kongkrit di dunia. Kedua, universalia in re, yaitu pengertian umum yang berada didalam benda itu sendiri. Universalia ini merupakan bentu-bentuk yang telah direalisir dalam kenyataan kongkrit, yang berasal dari ide Tuhan dan adanya telah memiliki bentuk sebuah benda. Ketiga, universalia post rem atau pengertian umum yang kemudian lahir dari akal manusia tentang benda kongkrit yang ada. Universalia ini merupakan hasil konsepsi abstrak manusia, atas wujud benda yang ada dan berbeda-beda.

B.      Thomas Aquinas : Dari Metafisika Menuju Rasionalisme-Ontologis

Thomas Aquinas dilahirkan di Rocca Sicca, ia belajar di Paris sebagai murid Albertus Agung, kemudian juga menjadi pengajar di Paris dan Koln. Sebagaimana Albertus Agung, pemikiran Thomas Aquinas sangat terkait dengan teologia. Aquinas mendasari filsafatnya atas keyakinannya pada pengetahuan  manusia melalui akalnya, dan tetap mempertahankan kebenaran-kebenaran adikodrati dari wahyu yang berdasarkan iman.
Thomas Aquinas sampai pada kesimpulan tentang adanya dua pengetahuan yang otonom, yaitu pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal manusia dan bersifat alamiah semata dengan sasaran yang bersifat umum, dan pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu dan bersifat mengatasi dan melampaui hal-hal yang alamiah dengan sasaran pada kebenaran Tuhan. Aquinas selanjutnya mengembangkan konsepsi metafisika yang berlandaskan pemikiran Aristoteles, dengan memformulasikan konsep-konsep pemikiran Aristoteles tentang materi dan bentuk, potensi dan aktus, serta bakat dan kongkritisasi. Hasil formulasi pemikiran Aquinas menghasilkan sebuah pengertian dasar yang sangat penting, yaitu bahwa materi adalah sebuah substansi (tetapi bukan substansi sempurna) yang masih berada dalam posisi sebagai potensia (potensi), pada titik ini materi mempunyai bakat untuk menjadi aktus (aktual). Bentuk pada sisi lain telah ada dalam diri materi, dan merupakan cara materi untuk dapat terkongkritkan. Semua makhluk mengalami proses potensi menjadi aktual, sehingga eksistensi makhluk adalah sesuatu yang ditambahkan dari esensinya (hakikatnya). Tetapi tuhan adalah actus purus menurut Thomas Aquinas, atau kongkrit secara murni, maka esensi (hakikat) keberadaan Tuhan melekat secara langsung dengan eksistensinya, untuk itu Tuhan tidak pernah berawal dari potensi.
Berlandaskan pemahaman tentang potensi-aktual dan esensi-eksistensi tersebut, Thomas Aquinas kemudian membangun sebuah kerangka rasionalisme ontologis atau theologika naturalis yang berupaya membangun sistem pengetahuan akal yang dapat menjangkau eksistensi Tuhan. Thomas Aquinas melakukan upaya pembuktian secara ontologis tentang adannya Tuhan dengan mengajukan lima dasar bukti. Pertama, bukti fenomena gerak. Sesuatu yang bergerak pasti digerakan oleh sesuatu yang lain, maka pasti ada penggerak pertama. Kedua, bukti fenomena kausalitas . realitas terbangun dari suatu tata tertib sebab akibat, maka harus ada sebab pertama yang mengakibatkan realitas. Ketiga, bukti ontologis, bahwa sesuatu yang tidak ada (sebelumnya) hanya dapat menjadi ada karena adanya sesuatu yang lain yang telah lebih dahulu ada, apalagi yang sudah ada pasti diadakan oleh sesuatu yang terlebih dahulu sudah ada. Keempat, bukti relativitas, bahwa realitas ini selalu mengacu pada sesuatu sebagai ukuran, maka pasti ada acuan terakhir yang menjadi ukuran terakhir yang tertinggi darikebaikan, kemuliaan, dan kebenaran. Kelima, bukti teleologis (tujuan), bahwa segala sesuatu menuju pada tujuan-tujuannya dan itu semua tidak berlangsung secara kebetulan, melainkan pasti ada yang mengarahkan.
Kelima bukti tersebut mengarah pada satu aktor utama yaitu Tuhan. Tetapi bukti tersebut menurut Aquinas hanya membantu kita untuk sampai pada pengetahuan bahwa esensi atau hakikat tuhan itu ada, tetapi eksistensi atau kongkritnya tidak dapat diketahui. Berdasarkan pembuktian ontologis Tuhan tersebut, lebih jauh Aquinas mengembangkan rasionalisme ontologis  yang berlandaskan pada konsep Aristoteles dan Neoplatonisme untuk menghubungkan kemampuan akali mengenal Tuhan. Menurut Aquinas, ada tiga cara manusia melalui akalnya dapat mengenal Tuhan. Pertama, via positiva, bahwa secara rasional keadaan manusia adalah bagian dari keadaan Tuhan, maka segala sesuatu yang secara positif baik dapat ddigunakan untuk mengetahui keadaan Tuhan. Kedua, via negativa, bahwa segala sesuatu yang ada pada manusia pasti tidak berada secara sama dengan keadaan Tuhan. Ketiga, via iminentiae, bahwa keadaan yang baik pada Tuhan pasti jauh melampaui keadaan baik yang ada pada manusia.
Lebih jauh Aquinas menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan realitas dari “yang tidak ada” (ex nihilo), kemudian penciptaan dilakukan Tuhan secara terus menerus sekaligus memelihara segala sesuatu yang bersifat sementara itu. Segala sesuatu diciptakan Tuhan dari ideNya, untuk itu segala sesuatu itu hanya merupakan bagian dari eksistensi atau adanya Tuhan. Segala ciptaan Tuhan”berpartisipasi” atas eksistensi Tuhan secara analogia (kiasan) bahwa antaratuhan dengan makhluk dan segala ciptaannya mempunyai jarak eksistensi yang jauh berbeda, tetapi sekaligus juga menampakkan bayangan eksistensi adanya Tuhan sebagai penciptanya.
Garis besar pemikiran Thomas Aquinas, selain sebagai lanjutan atau penajaman dari pemikiran dari pemikiran Albertus Agung, juga merupakan sebuah arah baru bagi pola pemikiran manusia yang bersifat sintesis. Secara jelas tampak bahwa Aquinas mencoba melakukan sintesis atau bentuk pikir jalan tengah dari nisbah atau pertentangan antara pengetahuan akal dan kebenaran iman yang dikemukakan oleh Albertus Agung. Hal penting dari pemikiran Aquinas juga tampak dari pemikirannya yang rasionalistis dalam mendekati berbagai fenomena metafisika. Pendekatan akal dalam memahami Tuhan merupakan bentuk sintesa pemikiran baru dalam persoalan pertentangan anatara akal dan iman yang menjadi tonggak perdebatan pemikiran pada kurang lebih tiga abad sebelumnya.

C.      Nominalisme : Realitas Bersifat Khusus Kongkrit

Pada akhir abad ke-13 kecendrungan peta pemikiran manusia mulai menampakkan perubahan arah. Pertentangan antar ordo pada satu sisi merupakan pemicu dari pertentangan pemikiran. Tetapi pada sisi lain polemik pemikiran masih berkisar pada hal-hal yang bersifat konstruksi metafisik, atau mencoba membangun sebuah dasar-dasar metafisika yang sekaligus bersifat sangat filosofis. Kemunculan seorang tokoh pemikir dari Scotlandia yaitu Yohanes Duns Scotus (1266-1308) pada akhir abad ke-13, merupakan kelanjutan dari pertentangan pemikiran manusia.
Efek penting dari pertentangan pemikiran antara Thomas Aquinas dan Yohanes Duns Scotus, adalah munculnya sebuah fenomena kecenderungan baru pemikiran manusia, yaitu fokus  pemikiran manusia tidak lagi bersifat metafisis sebagaimana aliran pikir Thomisme dan Scotisme sebelumnya yang telah dianggap sebagai jalan pemikiran kuno (via Antiqua), maka meskipun pemikiran masih mengarah pada aspek teologia, namun fokusnya tidak lagi pada aspek filosofis sebagai kerangka utama melainkan lebih bersifat positif ilmiah (via moderna). Tradisi pemikiran ini kemudian dikenal dengan istilah nominalisme, dengan tokoh utama adalah William Ockham (1285-1349).
William Ockham melanjutkan studinya di Oxford kemudian menjadi staf pengajar disana. Pandangan pemikiran Ockham bertumpu pada persoalan realitas yang pada pemikiran sebelumnya dianggap bersifat umum (universal). Menurutnya sesuatu yang nyata adalah hal-hal yang bersifat individual, segala hal yang bersifat tunggal yang dapat dipahami eksistensinya. Universalia atau pengertian umum sesungguhnya tidak ada dalam kenyataan yang dapat dialami, universalia hanya ada dalam akal. Maka menurut Ockham sesuatu hal tidak dapat di pilah-pilah kedalam hakikatnya (essentia) atau keberadaannya (existensia), sebab segala sesuatu yang nyata pasti mempunyai aspek hakikat dan sekaligus keberadaannya.
Sehingga pengetahuan hanya mungkin dicapai berdasarkan eksistensi yang bersifat tunggal, dan menurut Ockham pengenalan terpenting dalam memahami realitas adalah secara empirik yaitu melalui proses mengalami sesuatu hal secara aktual, disamping pengenalan intuitif yaitu pengenalan yang berlandaskan akal dan indera yang mencapai pemahaman tentang sesuatu hal secara konseptual. Secara intuitif, sesuatu hal yang tunggal dapat dirangkum dalam satu sebutan nama (terminus).
Kesimpulan pemikiran Ockham yang nominalistik kemudian membawa segala aspek pemahaman yang metafisik atau segala sesuatu yang diluar dari yang dapat dialami secara empirik dalam kenyataan secara tunggal, hanya bersifat subjektif atau hanya dapat dipahami sebatas konseptual saja.
Bentuk pemikiran nominalistik berkembang sampai pada akhir abad ke-14 terutama di Prancis. Sumbangsih terpenting dari kemunculan pemikiran nominalis adalah fokus pengetahuan dan pengenalan manusia diarahkan pada hal-hal yang bersifat khusus dan kongkrit. Relasi pemikiran nominalisme selain berakar dari pemikiran universalia, juga terkait dengan tradisi pemikiran realisme yang dicetuskan oleh Aristoteles.

0 komentar:

Posting Komentar