Kamis, 29 Maret 2012

Atheis-Achdiat Karta Mihardja


Pendahuluan
-       biografi Achdiat Karta Mihardja
Achdiat Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School "bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme.
Tahun 1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi).
Tahun 1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.
Roman Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari tangan Achdiat K. Miharja. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kita yang terus berubah menjadi tema sentral roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih dari 30 tahun dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang.  (1)

 
Sinopsis Novel Atheis
Rd. Hasan, pegawai gemeente Bandung, adalah seorang pemuda alim yang dididik orang tuanya untuk berpegang kuat pada ajaran agama Islam. Pertemuannya kembali dengan Rusli, teman masa kecilnya yang telah menjadi seorang pejuang dan aktivis politik bawah tanah membawa Hasan kepada pemikiran Atheisme yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan orang tuanya selama ini.
Pergaulan yang rapat dengan Rusli tersebut secara perlahan mulai mengubah pandangan-pandangan hidup Hasan selama ini. Terlebih karena hatinya tertawan oleh Kartini, adik angkat Rusli yang tergolong wanita yang berpemikiran progresif di zamannya sehinga sangat menarik perhatian Hasan. Perubahan pandangan Hasan semakin dalam dan jauh seiring diskusi-diskusinya yang panjang bersama Rusli dan Kartini, ditambah perkenalannya dengan kawan-kawan senior Rusli. Salah satu senior tersebut adalah Anwar, putra bupati namun adalah seorang manusia egois yang hidup hanya untuk dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
Kemunculan Anwar kemudian mulai mengubah hidup Hasan, yang diawali dengan hubungan Hasan dengan orang tuanya. Anwar memprotes keras Hasan yang akan pergi mengaji bersama orang tuanya sebagai seorang munafik dan tidak berpendirian. Hasan yang penuh keragu-raguan kemudian terpancing untuk secara terbuka menceritakan pandangan barunya kepada ayah-ibunya. Kedua orang tua Hasan yang begitu religius mendidik Hasan sejak kecil pun menjadi sangat kecewa dan mengusir Hasan. Kebimbangan hati Hasan tentang hidupnya pun bertambah berat.
Cerita bertambah rumit dengan tindakan Anwar yang membuat rumah tangga Hasan dan Kartini goyah. Anwar adalah seorang mata keranjang yang karena ketertarikannya pada Kartini membuat Hasan cemburu dan menimbulkan pertengkaran hebat antara dia dan Kartini. Pertengkaran ini membuat Kartini memutuskan lari menghindar untuk sesaat demi menunggu redanya amarah Hasan. Namun dalam pelariannya tersebut, Kartini malah hampir menjadi korban nafsu binatang Anwar di sebuah hotel. 
Peristiwa tersebut akhirnya diketahui Hasan secara tidak sengaja. Api cemburu dan kemarahan yang meledak membuat Hasan menjadi mata gelap dan hendak membunuh Anwar. Di tengah bunyi gelapnya malam dan sirene tanda bahaya tentara Jepang yang berkumandang, Hasan tetap berlari tanpa perduli. Kempetai pun menembak dan menangkapnya dengan tuduhan mata-mata. Tubuh Hasan yang menderita TBC tidak sanggup menahan siksa polisi pendudukan Jepang tersebut. Di akhir cerita, Hasan akhirnya meninggal dengan membawa keragu-raguannya terhadap Tuhan yang sebelumnya dia percayai.

Atheis
Novel ‘’Atheis’’ karya Achdiat Karta Miharja merupakan salah satu novel yang mencoba keluar dari ritme kebesaran novel-novel sebelumnya. Acdiat mencoba membuka babakan baru yang tak pernah muncul sebelumnya. Novel’’Atheis’’ jenis novel yang telah keluar dari bentuk adat kebiasaan para pengarang-pengarang besar lainnya. Novel ini telah jauh dari kawin paksa, tentang adat kampung yang mengungkung kebebasan kaum muda atau yang membawa mudarat bagi masyarakat, juga tidak berbicara tentang emansipasi wanita.
Atheis adalah potret zaman ketika bangsa ini berada dalam masa transisi. Tokoh-tokohnya representasi berbagai golongan masyarakat dalam menyikapi problem Timur—Barat yang belum selesai diperdebatan Polemik Kebudayaan. Achdiat Karta Mihardja menolak feodalisme (kebudayaan Timur yang lapuk) dan menerima modernisme dengan catatan kritis. Sikap ini berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang tegas menerima dan berorientasi ke Barat. Ada tiga hal yang menurut Achdiat Karta Mihardja perlu diselidiki: (1) pengaruh Barat, (2) kultur sendiri, (3) dogma agama. Bagaimanakah gagasan itu diselusupkan ke dalam Atheis.
Achdiat membuka pintu baru dalam novel ‘’Atheis’’ yang membicarakan tentang jiwa manusia karena pengaruh ajaran ( isme ) Di sinilah yang menjadi ciri khas Achdiat dalam novel ini. Sehingga novel’’Atheis’’ menjadi besar dalam sastra indonesia.Kebesaran novel ini terletak pada bentuk yang menggunakan teknik berbingkai. Bingkaian cerita masih berlapis, di mana tokohnya diperkenalkan lewat tokoh lain. Struktur novel’’Atheis’’ juga sangat kompleks. Hal ini tampak pada paparan para tokoh-tokohnya. Disamping itu juga, kebebasan novel ini terletak pada isinya yang membicarakan persoalan kehidupan dan kematian dengan paparan yang sangat simpatik. (2)
Struktur novel’’Atheis’’ yang sangat komplek. Novel ini pengungkapan cerita menggunakan teknik berlapis. Dimana pengenalan tokoh utamanya ( Hasan ) melalui tokoh yang lain. Tokoh-tokoh dalam novel Etheis antara lain Hasan, kartini, Rusli, Anwar, Raden Wiradikarta ( Ayah Hasan ) , Haji Dahlan ( Guru Hasan), Fatimah.
Achdiat mengawali ceritanya dari bagian akhir. Hal ini memberikan kesan kepada kita bahwa Achdiat tidak mau tokoh utamanya diketahui pembaca. Perhatikan petikan berikut
‘’seponyongan Kartini keluar dari sebuah kamar dalam kantor Ken peite. Mata kabur terpancang dalam muka yang pucat. Selopnya terseret-seret di atas lantai gedung yang seram itu. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak Rusli yang membimbingnya, sedang saya memegang tangan kanannya.
Perempuan malang itu amat lemah dan lesu nampaknya, seolah-olah hanya seonggok daging layaknya yang tak berhayat diseret-seret di atas lantai…’’
Dari kutipan di atas kita tidak tau siapa Kartini, siapa Rusli, dan siapa saya. Begitulah cara Achdiat dalam mengulas para tokohnya untuk mewakili bentuk jiwa masing-masing pelakunya.
Teknik pelapisan yang disajikan oleh Achdiat dalam novel’’Atheis’’ adalah bentuk pengenalan pelaku utama Hasan oleh tokoh lain yaitu tokoh saya.. Perhatikan contoh kutipan berikut ini
‘’Ia bernama Hasan…( tapi baiklah saya ceritakan sekarang saja, bahwa itu sebetulnya itu bukan nama sebenarnya, dan juga orang-orang yang bersangkutan dengan dia, yang nanti akan ternyata kepada kita dari sebuah naskah yang diberikan kepada saya, bukanlah Kartini, Rusli, Anwar dan lain-lain melainkan mereka mempunyai nama yang lain sekali. Tapi biasa saja di dalam suatu cerita Dichtungund Wahrheit seperti yang dibikin Hasan itu, nama-nama sebenarnya diganti dengan nama lain).’’
Dari kutipan di atas membuktikan bahwa sebenarnya tokoh utama[ Hasan] diperkenalkan kepada para pembaca melalui tokoh saya, yang tiada lain sang pengarang sendiri.
Berdasarkan alur ceita yang disajikan oleh Achdiat bahwa novel ’’Atheis’’ menonjolkan tiga bentuk manusia, pertama manusia yang theis. Manusia ini adalah tipe manusia yang sangat teguh pendiriannya terhadap ajaran yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia semacam ini menunjuk pada diri raden Wiradikarta. Ia adalah ayah kandung Hasan.Ia sosok manusia yang percaya dan teguh terhadap ajaran. Baginya ajaran tak bisa dikompromikan. Tipe semacam ini juga terdapat pada para kyai seperti guru Hasan. Kedua, manusia yang Atheis yaitu manusia yang benar-benar tidak percaya adanya Tuhan.Yang menjadi contoh manusia tipe ini adalah Rusli yang berpaham marxisme dan Anwar yang berpaham anarkis. Sedangkan ketiga adalah tipe manusia yang tidak duanya, yaitu tidak theis dan juga atheis. Manusia tipe seperti ini ada pada diri Hasan. Ia terombang-ambingkan antara theis dan dan atheis. Ia ragu dan bimbang. Ajaran yang lama menjadi goyah dan ajaran yang baru belummeresap sepenuhnya.
Hasan adalah salah satu tokoh novel Atheis dilahirkan dari keluarga Raden Wiradikarta . Ayah Hasan seorang pensiunan matri guru (Kepala SD).Hasan dilahirkan dari keluarga yang alim. Sejak kecil ia dididik dalam pendidikan Islam. Di sekolahnya, Hasan juga sempat disebut-sebut sebagai Kyai.
Dengan berbekal kemampuan agama yang serba sedikit Hasan mencoba keluar dari kungkungan keluarga. Setelah beranjak dewasa ia harus mengenal dunia luar. Dunia yang jelas-jelas berbeda dari lingkungan awal (linkungan keluarga yang fanatis islamis) Perkenalan Hasan dengan Anwar dan Rusli melalui Kartini, membawa pengaruh bagi dirinya. Ia mulai mengenal ajaran-ajaran yang menurutnya sangat berbeda bahkan perbedaannya sangat besar. Hal ini berarti Hasan harus mau dan mampu menerima ajaran-ajara yang diperoleh melalui Anwar sang Anarkis dan Rusli yang Marxisme. Dua aliran inilah yang membentuk jiwa Hasan semakin tak menentu. Ia sering melamun, berdiam diri, dan memikirkan serta membanding-bandingkan ajaran yang lama (islam) dengan ajran baru(Anarkis dan (Marxisme). Hal ini dapat kita lihat pada kutipan brikut:
‘’Sekarang saya sudah dewasa,’’kataku,’’ sudah cukup matang untuk mempunyai pendirian sendiri dalam soal-soal hidup. Ayah tidak boleh memaksa lagi kepada saya dalam hal pendirian saya, juga dalam pendirian saya terhadap agama.’’
Dan entalah, walaupun saya masih sangsi akan kebenaran teori-teorinya . Rusli dan Anwar tentang’’ketuhanan bikinan manusia’’ itu namun dalam reaksi terhadap desakan-desakan ayah yang seperti biasa memuji aliran tarikat dan mistik pada umumnya, maka kutumpahkan segala teori Rusli dan Anwar itu. Seolah-olah sudah menjadi atheis pula. Atheis mutlak seperti kedua temanku.’’
Agaknya, tak ada pukulan yang lebih hebat bagi ayah daripada ucapan-ucapan itu.
Sekarang terasa benar olehku, betapa kejamnya perkataanku itu terhadap ayah dan ibu yang selama itu selalu megah akan diriku sebagai anaknya yang ‘’alim’’ dan ‘’saleh’’
.
Ini jelaslah bahwa Hasan telah memiliki ajaran yang baru dan belum mendalam. Berbekal ajaran baru, ia mulai melawan pada kedua orang tua dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan yang dinilai sangat kejam. Perlakuan ini berlangsung dan berlanjut hingga dirinya menentukan pilihan pasangan hidupnya yaitu dengan Kartini.
Dalam novel Atheis, tokoh Hasan merupakan tipe manusia yang bersikap tidak punya pendirian, ia selalu bimbang, ragu tidak mudah percaya, cepat marah dan pencemburu. Hal ini tunjukan pada kutipan berikut :
‘’Ejekan Kartini biasanya disertai dengan tertawa kecil yang mencetus dari
mulutnya seperti anak kuda yang meringkik. Dan entahlah, tak tahan lagi aku,
kalau aku mendengar ringkikan kuda seperti itu. Sampai-sampai aku lupa. Kutempaleng Kartini sehingga ia menjerit’’…
‘’Besar kecurigaanku, bahwa orang itu tak lain tak bukan adalah Anwar sendiri. Dengan hilangnya kepercayaan dan timbulnya kecurigaan antara kami, maka api neraka sudah sampai kepada puncaknya.’’
Jiwa Hasan.yang demikian merupakan bentuk perlawanan dirinya dengan orang di luar dari dirinya. Nilai-nilai yang terkandung adalah sikap tak menghormati kepada kedua orang tua.Hasan belum menyadari segala kekurangannya dari apa yang ia dapatkan setelah perkenalan dengan Rusli dan Anwar. Kita lihat petikan berikut ini :
‘’Baru sekali ini aku bertengkar dengan orang tua. Dan alangkah hebatnya pertengkaran itu pertengkaran paham, pertengkaran pendirian, pertengkaran kepercayaan.
Tapi ah, mengapa aku tidak bersandiwara saja ? mengapa aku harus berterang-terangan memperlihatkan sikapku yang telah berubah itu terhadap agama ? karena Anwar tidak setuju dengan sikap sandiwara itu. Dengan ‘’ huichelarij’’seperti katanya.’’
Bila dilihat dari sikap Hasan, maka dapat dikatakan sebagai sikap pemberontakan. Karena menganggap paham, pendirian dan kepercayaan yang ia ketahui adalh benar adanya. Sehingga segala sesuatu yang ia lakukan pun merupakan pencerminan dari kebenaran yang dimiliki.
Namun dalam novel Athes tokoh Hasan akhirnya pergi meninggalkan teman-temannya. Ia mati mengenaskan, tidak diceritakan oleh Achdiat bagaimana dan siapa yang menolongnya, perhatikan kutipan berikut ini :
‘’Tiba-tiba… tar tar tar aduh
Hasan jatuh tersungkur. Darah menyerobot dari pahanya. Ia jatuh pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri. Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandikan darah. Kemudian dengan bibir melepas kata ‘’Allahu Akbar’’, tak bergerak lagi….
‘’Mata-mata ya Mata-mata Orang jahat bekeru, 


Daftar Pustaka :
(1) Achdiat Karta Mihardja. Atheis. Jakarta : 1990. Balai Pustaka
 (2) /HASAN DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARJA DI ERA MILLENIUM « NOL SATU Weblog.htm


0 komentar:

Posting Komentar