Pendahuluan
-
biografi
Achdiat Karta Mihardja
Achdiat
Karta MIhardja lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra,
Australia, 8 Juli 2010. Tahun 1932 tamat dari Algemene Middelbare School
"bagian Al di Solo. Ia juga mempelajari mistik (tarikat) aliran Kadariyah
Naksabandiah dari Kiyai Abdullah Mubarak yang terkenal juga dengan nama Ajengan
Gedebag. Kecuali itu belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada
Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme.
Tahun
1943 ia menjadi anggota redaksi Bintang Timur merangkap redaktur mingguan
Peninjauan (bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr.
Ratulangi).
Tahun
1937 pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga
sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan
Penuntun Kemajuan. Tahun 1941 jadi redaksi Balai Pustaka, sejak saat itu tumbuh
minatnya kepada kesusastraan. Tahun 1943 menjadi redaksi dan penyalin di kantor
pekabaran radio, Jakarta. Tahun 1946 jadi pimpinan umum mingguan Gelombang
Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda Kemajuan Rakyat. Tahun 1948 kembali
jadi redaksi di Balai Pustaka. Pada tahun 1949 terbitlah roman Atheis-nya ini.
Roman
Atheis ini salah satu karya terpenting yang lahir dari tangan Achdiat K.
Miharja. Pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat kita yang terus berubah
menjadi tema sentral roman ini. Masalah-masalah itu sampai sekarang masih
relevan, walaupun roman ini telah berusia lebih dari 30 tahun dan telah
mengalami beberapa kali cetak ulang. (1)
Sinopsis
Novel Atheis
Rd. Hasan, pegawai gemeente
Bandung,
adalah seorang pemuda alim yang dididik orang tuanya untuk berpegang kuat pada
ajaran agama
Islam.
Pertemuannya kembali dengan Rusli, teman masa kecilnya yang telah menjadi
seorang pejuang dan aktivis politik bawah tanah membawa Hasan kepada pemikiran Atheisme
yang bertolak belakang dengan apa yang diajarkan orang tuanya selama ini.
Pergaulan yang rapat dengan Rusli
tersebut secara perlahan mulai mengubah pandangan-pandangan hidup Hasan selama
ini. Terlebih karena hatinya tertawan oleh Kartini, adik angkat Rusli yang
tergolong wanita yang berpemikiran progresif di zamannya sehinga sangat menarik
perhatian Hasan. Perubahan pandangan Hasan semakin dalam dan jauh seiring
diskusi-diskusinya yang panjang bersama Rusli dan Kartini, ditambah
perkenalannya dengan kawan-kawan senior Rusli. Salah satu senior tersebut
adalah Anwar, putra bupati namun adalah seorang manusia egois yang hidup hanya untuk dirinya
sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
Kemunculan Anwar kemudian mulai
mengubah hidup Hasan, yang diawali dengan hubungan Hasan dengan orang tuanya.
Anwar memprotes keras Hasan yang akan pergi mengaji
bersama orang tuanya sebagai seorang munafik
dan tidak berpendirian. Hasan yang penuh keragu-raguan kemudian terpancing
untuk secara terbuka menceritakan pandangan barunya kepada ayah-ibunya. Kedua
orang tua Hasan yang begitu religius mendidik Hasan sejak kecil pun
menjadi sangat kecewa dan mengusir Hasan. Kebimbangan hati Hasan tentang
hidupnya pun bertambah berat.
Cerita bertambah rumit dengan tindakan
Anwar yang membuat rumah tangga Hasan dan Kartini goyah. Anwar adalah seorang mata keranjang yang karena ketertarikannya pada
Kartini membuat Hasan cemburu dan menimbulkan pertengkaran hebat antara dia dan
Kartini. Pertengkaran ini membuat Kartini memutuskan lari menghindar untuk
sesaat demi menunggu redanya amarah Hasan. Namun dalam pelariannya tersebut,
Kartini malah hampir menjadi korban nafsu binatang Anwar di sebuah hotel.
Peristiwa tersebut
akhirnya diketahui Hasan secara tidak sengaja. Api cemburu dan kemarahan yang
meledak membuat Hasan menjadi mata gelap dan hendak membunuh Anwar. Di tengah
bunyi gelapnya malam dan sirene tanda bahaya tentara Jepang yang berkumandang,
Hasan tetap berlari tanpa perduli. Kempetai pun menembak dan menangkapnya dengan tuduhan
mata-mata. Tubuh Hasan yang menderita TBC tidak sanggup menahan
siksa polisi pendudukan Jepang tersebut. Di akhir cerita, Hasan akhirnya
meninggal dengan membawa keragu-raguannya terhadap Tuhan yang sebelumnya dia
percayai.
Atheis
Novel
‘’Atheis’’ karya Achdiat Karta Miharja merupakan salah satu novel yang mencoba
keluar dari ritme kebesaran novel-novel sebelumnya. Acdiat mencoba membuka
babakan baru yang tak pernah muncul sebelumnya. Novel’’Atheis’’ jenis novel
yang telah keluar dari bentuk adat kebiasaan para pengarang-pengarang besar
lainnya. Novel ini telah jauh dari kawin paksa, tentang adat kampung yang
mengungkung kebebasan kaum muda atau yang membawa mudarat bagi masyarakat, juga
tidak berbicara tentang emansipasi wanita.
Atheis
adalah potret zaman ketika bangsa ini berada dalam masa transisi.
Tokoh-tokohnya representasi berbagai golongan masyarakat dalam menyikapi
problem Timur—Barat yang belum selesai diperdebatan Polemik Kebudayaan. Achdiat
Karta Mihardja menolak feodalisme (kebudayaan Timur yang lapuk) dan menerima
modernisme dengan catatan kritis. Sikap ini berbeda dengan Sutan Takdir
Alisjahbana yang tegas menerima dan berorientasi ke Barat. Ada tiga hal yang
menurut Achdiat Karta Mihardja perlu diselidiki: (1) pengaruh Barat, (2) kultur
sendiri, (3) dogma agama. Bagaimanakah gagasan itu diselusupkan ke dalam
Atheis.
Achdiat membuka pintu baru dalam
novel ‘’Atheis’’ yang membicarakan tentang jiwa manusia karena pengaruh ajaran
( isme ) Di sinilah yang menjadi ciri khas Achdiat dalam novel ini. Sehingga
novel’’Atheis’’ menjadi besar dalam sastra indonesia.Kebesaran novel ini
terletak pada bentuk yang menggunakan teknik berbingkai. Bingkaian cerita masih
berlapis, di mana tokohnya diperkenalkan lewat tokoh lain. Struktur
novel’’Atheis’’ juga sangat kompleks. Hal ini tampak pada paparan para
tokoh-tokohnya. Disamping itu juga, kebebasan novel ini terletak pada isinya
yang membicarakan persoalan kehidupan dan kematian dengan paparan yang sangat
simpatik. (2)
Struktur
novel’’Atheis’’ yang sangat komplek. Novel ini pengungkapan cerita menggunakan
teknik berlapis. Dimana pengenalan tokoh utamanya ( Hasan ) melalui tokoh yang
lain. Tokoh-tokoh dalam novel Etheis antara lain Hasan, kartini, Rusli, Anwar,
Raden Wiradikarta ( Ayah Hasan ) , Haji Dahlan ( Guru Hasan), Fatimah.
Achdiat mengawali ceritanya dari bagian
akhir. Hal ini memberikan kesan kepada kita bahwa Achdiat tidak mau tokoh
utamanya diketahui pembaca. Perhatikan petikan berikut
‘’seponyongan
Kartini keluar dari sebuah kamar dalam kantor Ken peite. Mata kabur terpancang
dalam muka yang pucat. Selopnya terseret-seret di atas lantai gedung yang seram
itu. Tangan kirinya berpegang lemah pada pundak Rusli yang membimbingnya,
sedang saya memegang tangan kanannya.
Perempuan
malang itu amat lemah dan lesu nampaknya, seolah-olah hanya seonggok daging
layaknya yang tak berhayat diseret-seret di atas lantai…’’
Dari kutipan di atas
kita tidak tau siapa Kartini, siapa Rusli, dan siapa saya. Begitulah cara
Achdiat dalam mengulas para tokohnya untuk mewakili bentuk jiwa masing-masing
pelakunya.
Teknik pelapisan yang
disajikan oleh Achdiat dalam novel’’Atheis’’ adalah bentuk pengenalan pelaku
utama Hasan oleh tokoh lain yaitu tokoh saya.. Perhatikan contoh kutipan
berikut ini
‘’Ia
bernama Hasan…( tapi baiklah saya ceritakan sekarang saja, bahwa itu sebetulnya
itu bukan nama sebenarnya, dan juga orang-orang yang bersangkutan dengan dia,
yang nanti akan ternyata kepada kita dari sebuah naskah yang diberikan kepada
saya, bukanlah Kartini, Rusli, Anwar dan lain-lain melainkan mereka mempunyai
nama yang lain sekali. Tapi biasa saja di dalam suatu cerita Dichtungund
Wahrheit seperti yang dibikin Hasan itu, nama-nama sebenarnya diganti dengan
nama lain).’’
Dari kutipan di atas
membuktikan bahwa sebenarnya tokoh utama[ Hasan] diperkenalkan kepada para
pembaca melalui tokoh saya, yang tiada lain sang pengarang sendiri.
Berdasarkan alur
ceita yang disajikan oleh Achdiat bahwa novel ’’Atheis’’ menonjolkan tiga
bentuk manusia, pertama
manusia yang theis. Manusia ini adalah tipe manusia yang sangat teguh
pendiriannya terhadap ajaran yang percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa. Manusia
semacam ini menunjuk pada diri raden Wiradikarta. Ia adalah ayah kandung
Hasan.Ia sosok manusia yang percaya dan teguh terhadap ajaran. Baginya ajaran
tak bisa dikompromikan. Tipe semacam ini juga terdapat pada para kyai seperti
guru Hasan. Kedua,
manusia yang Atheis yaitu manusia yang benar-benar tidak percaya adanya
Tuhan.Yang menjadi contoh manusia tipe ini adalah Rusli yang berpaham marxisme dan Anwar yang
berpaham anarkis.
Sedangkan ketiga
adalah tipe manusia yang tidak duanya, yaitu tidak theis dan juga atheis.
Manusia tipe seperti ini ada pada diri Hasan. Ia terombang-ambingkan antara
theis dan dan atheis. Ia ragu dan bimbang. Ajaran yang lama menjadi goyah dan
ajaran yang baru belummeresap sepenuhnya.
Hasan
adalah salah satu tokoh novel Atheis dilahirkan dari keluarga Raden Wiradikarta
. Ayah Hasan
seorang pensiunan matri guru (Kepala SD).Hasan
dilahirkan dari keluarga yang alim. Sejak kecil ia dididik dalam pendidikan
Islam. Di sekolahnya, Hasan
juga sempat disebut-sebut sebagai Kyai.
Dengan berbekal kemampuan agama yang
serba sedikit Hasan
mencoba keluar dari kungkungan keluarga. Setelah beranjak dewasa ia harus
mengenal dunia luar. Dunia yang jelas-jelas berbeda dari lingkungan awal
(linkungan keluarga yang fanatis islamis) Perkenalan Hasan dengan Anwar dan
Rusli melalui Kartini, membawa pengaruh bagi dirinya. Ia mulai mengenal
ajaran-ajaran yang menurutnya sangat berbeda bahkan perbedaannya sangat besar.
Hal ini berarti Hasan
harus mau dan mampu menerima ajaran-ajara yang diperoleh melalui Anwar sang
Anarkis dan Rusli yang Marxisme. Dua aliran inilah yang membentuk jiwa Hasan semakin tak menentu.
Ia sering melamun, berdiam diri, dan memikirkan serta membanding-bandingkan
ajaran yang lama (islam) dengan ajran baru(Anarkis dan (Marxisme). Hal ini
dapat kita lihat pada kutipan brikut:
‘’Sekarang saya sudah dewasa,’’kataku,’’
sudah cukup matang untuk mempunyai pendirian sendiri dalam soal-soal hidup.
Ayah tidak boleh memaksa lagi kepada saya dalam hal pendirian saya, juga dalam
pendirian saya terhadap agama.’’
Dan entalah, walaupun saya masih sangsi akan
kebenaran teori-teorinya . Rusli dan Anwar tentang’’ketuhanan bikinan manusia’’
itu namun dalam reaksi terhadap desakan-desakan ayah yang seperti biasa memuji
aliran tarikat dan mistik pada umumnya, maka kutumpahkan segala teori Rusli dan
Anwar itu. Seolah-olah sudah menjadi atheis pula. Atheis mutlak seperti kedua temanku.’’
Agaknya, tak ada pukulan yang lebih hebat
bagi ayah daripada ucapan-ucapan itu.
Sekarang terasa benar olehku, betapa kejamnya
perkataanku itu terhadap ayah dan ibu yang selama itu selalu megah akan diriku
sebagai anaknya yang ‘’alim’’ dan ‘’saleh’’
.
Ini jelaslah bahwa Hasan telah memiliki
ajaran yang baru dan belum mendalam. Berbekal ajaran baru, ia mulai melawan
pada kedua orang tua dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan yang dinilai sangat
kejam. Perlakuan ini berlangsung dan berlanjut hingga dirinya menentukan
pilihan pasangan hidupnya yaitu dengan Kartini.
Dalam novel Atheis, tokoh Hasan merupakan tipe
manusia yang bersikap tidak punya pendirian, ia selalu bimbang, ragu tidak
mudah percaya, cepat marah dan pencemburu. Hal ini tunjukan pada kutipan
berikut :
‘’Ejekan Kartini biasanya disertai dengan
tertawa kecil yang mencetus dari
mulutnya seperti anak kuda yang meringkik.
Dan entahlah, tak tahan lagi aku,
kalau aku mendengar ringkikan kuda seperti
itu. Sampai-sampai aku lupa. Kutempaleng Kartini sehingga ia menjerit’’…
‘’Besar kecurigaanku, bahwa orang itu tak
lain tak bukan adalah Anwar sendiri. Dengan hilangnya kepercayaan dan timbulnya
kecurigaan antara kami, maka api neraka sudah sampai kepada puncaknya.’’
Jiwa Hasan.yang
demikian merupakan bentuk perlawanan dirinya dengan orang di luar dari dirinya.
Nilai-nilai yang terkandung adalah sikap tak menghormati kepada kedua orang tua.Hasan belum menyadari
segala kekurangannya dari apa yang ia dapatkan setelah perkenalan dengan Rusli
dan Anwar. Kita lihat petikan berikut ini :
‘’Baru sekali ini aku bertengkar dengan orang
tua. Dan alangkah hebatnya pertengkaran itu pertengkaran paham, pertengkaran
pendirian, pertengkaran kepercayaan.
Tapi ah, mengapa aku tidak bersandiwara saja
? mengapa aku harus berterang-terangan memperlihatkan sikapku yang telah
berubah itu terhadap agama ? karena Anwar tidak setuju dengan sikap sandiwara
itu. Dengan ‘’ huichelarij’’seperti katanya.’’
Bila dilihat dari sikap Hasan, maka dapat
dikatakan sebagai sikap pemberontakan. Karena menganggap paham, pendirian dan
kepercayaan yang ia ketahui adalh benar adanya. Sehingga segala sesuatu yang ia
lakukan pun merupakan pencerminan dari kebenaran yang dimiliki.
Namun dalam novel Athes tokoh Hasan akhirnya pergi
meninggalkan teman-temannya. Ia mati mengenaskan, tidak diceritakan oleh
Achdiat bagaimana dan siapa yang menolongnya, perhatikan kutipan berikut ini :
‘’Tiba-tiba… tar tar tar
aduh
Hasan jatuh tersungkur. Darah menyerobot dari
pahanya. Ia jatuh pingsan. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri.
Darah mengalir dari lukanya, meleleh di atas betisnya. Badan yang lemah itu
berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandikan darah. Kemudian dengan
bibir melepas kata ‘’Allahu Akbar’’, tak bergerak lagi….
‘’Mata-mata ya Mata-mata Orang jahat bekeru,
Daftar Pustaka :
(1) Achdiat Karta Mihardja. Atheis.
Jakarta : 1990. Balai Pustaka
(2) /HASAN DALAM NOVEL ATHEIS KARYA ACHDIAT KARTA MIHARJA
DI ERA MILLENIUM « NOL SATU Weblog.htm
0 komentar:
Posting Komentar