Minggu, 26 September 2010

sastra lisan

A.Pengertian Sastra Lisan

Istilah sastra lisan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu oral literature. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah itu berasal dari bahasa Belanda oral letterkunde. Kedua pendapat ini memang benar, tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa istilah ini mengandung kontradiksi sebab kata "literature" maupun kata "letterkunde" yang dalam bahasa Indonesia diartikan sastra merujuk pada pengertian sastra tulis atau satra cetak ( Teeuw, 1984 :22-23). Karena pengertian seperti itulah, maka perhatian terhadap sastra lisan agak terabaikan jika dibandingkan dengan sastra tertulis
Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah cerita yang disebarluaskan dari mulut ke telinga, tersebar secara lisan dan diwarisi secara turun temurun. Sementara Suripan (1991: 3) mengatakan bahwa sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Penutur dalam sastra lisan biasa disebut dengan pendendang, juru pantun, atau pelipur lara dan lain sebagainya. Sastra yang disebarkan secara lisan sangat tergantung pada daya ingat penuturnya. Karena dalam sastra lisan teks hanya ada dalam ingatan si pencerita. Karenanya tidaklah mengherankan bila sastra lisan sering kali mengalami penyimpangan dari cerita semula. Lama-kelamaan penyimpangan ini akan menimbulkan versi-versi cerita yang hampir sama. Penyimpangan yang terjadi bukanlah disengaja melainkan karena kekilafan penuturnya. Penutur tidak memiliki hak untuk melakukan perubahan, karena penutur hanya berperan sebagai pencerita dari sebuah ragam sastra lisan.
Sebagai pencerita, penutur mempunyai peranan penting dalam memelihara dan mewarisi sastra lisan, kadang-kala sebagai kreator. Selain penutur sebenarnya ada hal lain yang menentukan eksistensi suatu karya sastra ( sastra lisan ) dapat bertahan, yaitu pendengar /penikmat (audience) . Meskipun penuturnya ada, tetapi pendengar/penikmat (audience) tidak ada maka sastra lisan tidak dapat bertahan dengan baik, bahkan mungkin punah.
Dalam masyarakat yang tradisional, sastra lisan memiliki arti yang sangat penting dan sastra lisan dalam masyarakat tradisional bersifat komunal, artinya sastra lisan itu milik bersama, sastra lisan itu bukan milik perseorangan atau individu.
Ketika derasnya arus modernisasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang melanda kehidupan masyarakat kita, maka perlu kita mengajukan pertanyaan kepada tradisi lisan kita seperti Jelihiman, Guritan, Ande-ande, Betadut, dan Betogou. Apakah masih menarik penyajian tradisi lisan (folklore) tersebut untuk zaman sekarang ini sebagai sebuah tontonan dimana “penampakan” tidak mampu memenuhi cita rasa estetika serta hiburan bagi masyarakat saat ini?
Boleh jadi, masyarakat dengan gaya hidup modern sekarang ini, pertunjukan tradisi lisan (sastra lisan) yang berlama-lama itu tentu akan menjawab: “sudah bukan zamannya lagi”. Artinya, penuturan sastra lisan yang memakan waktu berhari-hari itu saat ini sudah tidak bisa lagi dikosumsi dan harus menghilang dari peredaran.
Itu sebabnya sebagian orang banyak yang cemas dengan lenyapnya tradisi sastra lisan. Sebagian orang sepertinya memandang sastra lisan sebagai sesuatu yang terancam seperti etnis atau masyarakat pendukungnya yang telah melahirkan dan membesarkannya. “Sayang kalau tradisi lisan yang masih bertahan hidup akan mengalami kepunahan,” kata Ahmad Bastari Suan saat mengamati sebuah pertunjukan tradisi lisan Reduy dari Prabumulih beberapa waktu lalu.
Namun, “spirit” sastra lisan tidak akan pernah mati, itu telah dibuktikan dengan membaca ulang teks tulisan di hadapan publik. Pembacaan puisi dan pembacaan cerpen selalu disimak bersama-sama, sebagaimana ketika masyarakat pendukung Guritan dan Jelihiman mendengar para penuturnya. Seperti halnya ketika ada sebagian orang menuliskan kembali teks sastra lisan kemudian dilisankan kembali, sebagaimana yang pernah ditampilkan oleh Teater Alam dalam tradisi lisan Betadut atau Anwar Beck saat membacakan teks tulis Ande-Ande di hadapan publik di sebuah hotel berbintang.



B.Ciri-ciri Sastra Lisan

Suripan (1991 : 3) menjelaskan bahwa sastra lisan setidak-tidaknya memiliki beberapa ciri, antara lain :
1. Penyebaran melalui mulut,Penyebaran dari mulut ke mulut, maksudnya dituturkan oleh tukang dendang, penutur,dan pelipur lara dengan bahasa lisan (dari mulut ke mulut).
2. Lahir dalam masyarakat yang tradisional atau masyarakat desa. Menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan merupakan warisan budaya yang menggambarkan budaya masa lampau.
3. Tidak diketahi siapa pengarangnya (anonin), karena itu menjadi milik masyarakat secara kolektif.
4. Bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang. Ini dimaksudkan untuk menjaga supaya sastra lisan itu tidak cepat berubah.
5. Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, bahkan lebih mementingkan aspek khayalan/ fantasi yang kurang diterima oleh masyarakat modern.
6. Terdiri dari berbagai versi. Menggunakan gaya bahasa lisan ( sehari-sehari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.
Dilihat dari segi penuturnya sastra lisan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok besar yaitu :
(1) sastra lisan berupa pertunjukan, dan
(2) sastra lisan yang diceritakan.
Jenis yang pertama umumnya sastra lisan berupa pertunjukkan , seperti Lenong ( Betawi), Ketoprak ( Jawa), Randai (Minangkabau), dan Mak Yong (Melayu), dan lain-lain. Sedangkan sastra lisan jenis kedua seperti, Bersyair (Melayu), Berpantun (Sunda), dan lain sebagainya.
Sastra lisan sering dikaitkan orang dengan budaya atau folklore ,dan bahkan ada orang yang menyebut bahwa sastra lisan itu sama dengan folklore.

0 komentar:

Posting Komentar