Rabu, 29 September 2010

resepsi sastra

Teori Resepsi Sastra

Teori besar untuk menentukan nasib pembaca memiliki nama sebagai resepsi sastra (rezeptionaesthetik atau asthetic of reception). Di sini, pembaca memberikan interpretasi atau pemaknaan atas suatu teks sastra. Pengertian itu menjadi kompleks ketika ada konvensi-konvensi tertentu yang berlaku dalam jalinan hubungan penulis, teks, dan pembaca.
Hans Robert Jausz dan Wolfgang Iser menjadi pemikir mumpuni mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi pembaca.
Jausz identik dengan rumusan horison penerimaan oleh pembaca (horison of expetation), dengan taktik keterlibatan atau partisipasi aktif membaca dengan pamrih teks sastra jadi hidup dan membuka sekian kemungkinan sistem pemaknaan.
Pembaca dipengaruhi oleh berbagai situasi dalam menikmati karya sastra.Tujuh tesis Hans Robert Jausz sangat mempengaruhi kondisi atau situasi pembaca.Tujuh tesis Jausz tersebut sebagai berikut :
a)Dalam tesis yang pertama dijelaskan bahwa karya sastra bukanlah objek yang dapat berdiri sendiri menawarkan pandangan kepada setiap pembaca dalam setiap periode.Namun, karya sastra lebih mirip sebagai orkesisasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru diantara para pembacanya.Karya sastra juga merupakan objek yang tidak dapat didefenisikan, tidak terbatas oleh waktu (selalu muncul disetiap zaman) dan sebagai penciptaan dialog.
b)Tesis kedua berisi tentang horizon pembaca, cara mengidentifikasikan horizon pembaca, dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Horizon harapan ini dapat diidentifikasi melalui norma-norma yang sudah dikenal, hubungan implisit melalui karya sastra yang sudah dikenal, dan pertentangan antara fiksi dan realitas antara fungsi bahasa puitik dan bahasa sehari-hari.
c)Tesis ketiga adalah jarak estetik yang berisi tentang sambutan pembaca terhadap perbedaan horizon dengan pemunculannya didalam karya sastra yang baru.Sambutan pembaca dapat berupa : reaksi,kritik,sambutan psikologis,dan penerbitan ulang.
d)Tesis keempat adalah semangat zaman yang berisi tentang perbedaan tanggapan pembaca terhadap suatu karya sastra seiring dengan perjalanan zaman.Semangat zaman ini dipengaruhi oleh pengalaman pembaca,horizon harapan,dan jarak estetik.
e)Tesis kelima adalah rangkaian sastra.Tesis ini menjelaskan tentang hubungan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lainnya.Rangkaian itu menjawab suatu masalah dengan teks yang lain.Dalam hal ini posisi kesejarahan dan maknanya didalam konteks pengalaman kesastraan dapat diketahui.
f)Tesis keenam adalah sinkronik dan diakronik.Hasil analisis sinkronik dan diakronik mengungkapkan perubahan minat estetik dan menemukan hubungan fungsional antara pemahaman karya baru dan makna karya sebelumnya.
g)Tesis yang terakhir adalah sejarah umum dan sejarah khusus.Fungsi sosial karya sastra muncul hanya bila pengalaman sastra pembaca memasuki horizon harapan sehigga memiliki pengaruh terhadap tindakan-tindakan sosialnya
Iser orang Jerman. Dia dikenal sebagai ahli sastra. Dalam studi sastra dia terkenal antara lain gara-gara pemikirannya yang disebut teori tanggapan pembaca (reader-response theory). Biasanya, dia juga ditempatkan dalam rumpun pemikiran sastra yang mengandalkan pendekatan fenomenologis. Adapun fenomenologi ---sederhananya--- adalah pemikiran filosofis yang menelaah cara hal-ihwal di sekeliling kita memasuki kesadaran kita. (pencetus fenomenologi adalah Edmund Husserl [1859-1938], juga orang Jerman.)
Dalam pengantar The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response. Dalam versi aslinya, buku ini berjudul Der Akt des Lesens: Theorie Aesthetischer Wirkung, dan terbit pada 1976, dia mengatakan “Karena teks sastra hanya dapat menimbulkan tanggapan ketika teks itu dibaca, sepertinya mustahil kita menjelaskan tanggapan itu jika kita tidak menganalisis proses membaca. Karena itu, kegiatan membaca merupakan titik tolak studi ini, sebab dalam kegiatan membaca berlangsung seluruh rantai kegiatan yang bergantung baik pada teks maupun pada penerapan aspek-aspek tertentu pada diri manusia. Efek dan tanggapan tidaklah melekat pada teks maupun pada diri pembaca; teks hanya mengajukan efek potensial yang baru akan terwujud dalam proses membaca.”
Tanggapan pembaca yang ditelaah oleh Iser disebut “tanggapan estetis” (aesthetic response). Itu sebabnya, teorinya pun dia sebut “teori tanggapan estetis” alias theory of aesthetic response. Istilah dari dulu, Wirkungstheorie. Yang menarik, teori Wirkung ini dia bedakan dengan teori sejenis yang disebut “teori resepsi estetis” alias theory of aesthetic reception alias Rezeptionstheorie.
Menurut Iser, karena studi sastra pada dasarnya memperhatikan teks, sudah pasti apa yang berlangsung melalui teks itu pentingnya bukan main. Iser beranggapan bahwa karya sastra sebaiknya tidak dipandang sebagai catatan dokumenter mengenai sesuatu yang ada atau pernah ada. Karya sastra, katanya, sebaiknya dipandang sebagai “reformulasi mengenai realitas yang sudah terformulasi”. Dengan kata lain, dalam pandangannya, karya sastra pada dasarnya merupakan upaya membentuk kembali kenyataan yang sudah punya bentuk. Taruhlah bahwa apa yang disebut “realitas” alias kenyataan itu sudah punya bentuk. Karya sastra tidak merekam atau mencatat kenyataan itu begitu saja, tetapi mengolah kembali kenyataan sehingga kenyataan itu mendapatkan semacam bentuk baru.“Konsekuensinya,” kata Iser, “teori tanggapan estetis dihadapkan pada masalah tentang bagaimana situasi yang sejauh ini belum terformulasikan dapat diproses dan, tentu, dipahami. Adapun teori resepsi, di pihak lain, selalu memperhatikan para pembaca yang sudah ada, yang reaksinya membuktikan pengalaman sastra tertentu yang sudah terkondisikan secara historis. Teori tanggapan berakar pada teks; sedangkan teori resepsi timbul dari sejarah penilaian para pembaca.”
Perbedaan antara teori tanggapan estetis dan teori resepsi estetis terletak pada pusat perhatiannya. Sederhananya, teori tanggapan estetis memperhatikan proses membaca karya sastra. Sedangkan teori resepsi estetis memperhatikan penilaian para pembaca yang telah membaca karya sastra.
Pertama yang membuat pelik tidak lain dari barang yang kita sebut teks itu sendiri. Ketika kita menghadapi sesusun teks, tidak mungkin kita dapat menyerap keseluruhan isinya pada saat itu juga. Situasinya agak berbeda dengan situasi ketika kita menghadapi suatu benda, misalnya sebongkah batu. Ketika kita melihat sebongkah batu, biasanya seketika kita dapat melihat atau setidak-tidaknya memikirkan keseluruhan wujudnya. Kalau kita melihat batu berarti kita berada di luar batu itu. Diri kita terpisah dari sang batu. Sedangkan kalau kita mambaca teks, sesungguhnya kita berada di dalam teks itu. Kita masuk ke dalam teks itu.
“Dengan demikian,” kata Iser, “relasi antara teks and pembaca tidak seperti relasi antara objek dan pengamat: ketimbang menjadi relasi subjek-objek, yang timbul adalah titik pandang yang bergerak, menelusuri bentangan di dalamnya, yang mesti dipahami.”
Apa yang penting dalam proses seperti itu adalah upaya kita melakukan “sintesis” atas rincian teks yang secara bertahap kita serap. Iser menyebutnya synthetizing process, yakni proses menyambungkan rincian demi rincian isi teks yang kita baca, sedemikian rupa sehingga pemahaman kita atas teks itu menjadi menyeluruh.Dalam urusan inilah fenomenologi jadi penting. Iser sendiri menyebut uraiannya mengenai soal ini sebagai “fenomenologi kegiatan membaca” (phenomenology of reading).

0 komentar:

Posting Komentar